HARTA atau pangkat hanyalah berfungsi sebagai penunjang sekunder bukan sumber primer suatu kebahagiaan. Bahkan kekayaan harta, dan ketinggian pangkatpun tak akan mendatangkan bahagia bila tidak diiringi dengan kekayaan hati yaitu merasa cukup (qana’ah) dengan adanya rezeki Allah yang diberikan padanya.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ”Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang hakiki adalah kaya jiwa (qana’ah/merasa berkecukupan)“ (HR Bukhari:6446 dan Muslim: 1050)
BACA JUGA: Orang Kaya yang Celaka
Dalam hadis Abu Dzar radhiyallahu’anhu, beliau bersabda: “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan? Aku (Abu Dzar) berkata: Iya Rasulullah. Rasulullah berkata: Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan? Aku (Abu Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah.” Rasulullah pun berkata: Sesungguhnya kekayaan hakiki adalah kayanya hati, dan kemisikinan hakiki adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibban: 685, shahih)
Dalam menjelaskan makna tersirat hadis ini, Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: ”Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak merasa cukup dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakikat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta.“ (Syarh Ibnu Shahih Al-Bukhari: 10/165)
Jika telah jelas bahwa bahagia itu hanya bisa dicapai dengan iman dan amal shalih, maka telah jelas bahwa sumber kebahagiaan yang hakiki itu hanyalah terdapat dalam ayat-ayat suci Al-Quran dan hadis-hadis suci Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Dengan mengaplikasikan keduanya, berarti seseorang telah meniti jalan bahagia lewat sumbernya yang utama, dan mesti berujung pada akhir kebahagiaan yang hakiki pula yaitu surga Allah ta’ala. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah mengisahkan bahwa beliau mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.“ (Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ al-Fatawa: 1/153).
BACA JUGA: Menjadi Guru Ahli Surga dengan Meneladani Sifat Rasulullah
Makna “surga dunia” yang diungkapkan Ibnu Taimiyah ini adalah keyakinan iman kepada Allah, sikap cinta kepada Allah, ridha terhadap ketentuan-Nya, serta berbagai perkara keimanan lainnya. Maka barangsiapa yang tidak memasuki “surga dunia” ini yang merupakan faktor utama kebahagiaan dunia akhirat, maka ia tidak akan memasuki surga Allah diakhirat kelak, demikian pula sebaliknya, barangsiapa yang memasukinya, maka ia mesti memasuki surga akhirat atas izin Allah subhanahu wata’ala, karena “Ganjaran itu sesuai dengan jenis dan kadar amalan.” []
SUMBER: WAHDAH