JAKARTA –Peneliti Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hamdan Basyar mengatakan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tanpa disertai sanksi tidak akan membuat Israel berhenti menduduki Yerusalem.
“Yang namanya Israel sudah puluhan tahun ngotot mengabaikan resolusi,” jelas Hamdan seperti dikutip dari Anadolu Agency, Jumat (22/12/2017).
Hamdan menjelaskan bahwa resolusi PBB yang baru diputuskan di Majelis Umum PBB pada Kamis (21/12/2017) memiliki kelemahan. Resolusi itu tidak bisa memberikan sanksi keras kepada Israel agar berhenti melakukan perluasan di wilayah Palestina.
Berbeda dengan keputusan Dewan Keamanan (DK) PBB vetonya untuk mematahkan kebijakan-kebijakan PBB terkait Palestina-Israel itu.
“Sehingga hanya karena satu negara, resolusi yang dibutuhkan untuk menolong sebuah bansga teraniaya tak bisa jalan,” kata Hamdan.
Menurut Hamdan, kemenangan suara untuk Palestina dalam Sidang Umum PBB menunjukkan arah politik Trump yang tidak disukai banyak negara.
Hamdan menilai 9 negara yang menolak resolusi hanyalah negara kecil yang takut dengan ancaman AS. Sedangkan 35 negara yang abstain punya motif menghormati hubungan baik dengan AS.
“Saat Netanyahu ke Eropa, dia juga gagal meyakinkan Uni Eropa,” kata Hamdan.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI) Abdul Muta’ali melihat keputusan sidang umum PBB tidak serta merta membawa perubahan nyata di Palestina karena sifatnya hanya rekomendasi.
Muta’ali pun mengusulkan agar Organisasi Kerja sama Islam (OKI) mendukung penuh pemerintah Palestina untuk membawa klaim sepihak AS ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Hal ini guna mencegah kembali jatuhnya banyak korban akibat perlawanan dari bangsa Palestina.
“Saat Perdana Menteri Israel Ariel Sharon tahun 2000 mengatakan Yerusalem kelak akan menjadi ibu kota Israel, rakyat Palestina meresponnya dengan Intifada hingga 2.200 warga Palestina tewas,” ujar Muta’ali. []