“SITI NURBAYA: KASIH TAK SAMPAI”, sering disingkat “SITI NURBAYA”, atau dalam ejaan lama ditulis dengan “SITTI NOERBAJA”, merupakan novel Indonesia karangan Marah Rusli. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia Belanda pada tahun 1922.
Penulisnya dipengaruhi oleh perselisihan antara kebudayaan Minangkabau dari Sumatra Barat dan penjajah Belanda yang menguasai Indonesia sejak abad ke -17. Pengaruh lainnya, barangkali pengalaman buruk Rusli dengan keluarganya. Setelah memilih perempuan Sunda untuk menjadi istrinya, keluarganya menyuruh Rusli kembali ke Padang dan menikah dengan perempuan Minang yang dipilihkan.
Novel ini menceritakan tentang kisah dua orang remaja yang bernama Samsulbahri dan Siti Nurbaya yang saling mencintai, akan tetapi terpisah. Karena Samsulbahri harus pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan. Belum lama kemudian, Siti Nurbaya dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah dengan Datuk Maringgih (seorang yang kaya raya akan tetapi kasar) sebagai cara untuk melunasi hutangnya. Karena orang tua Siti terlilit hutang kepada Datuk Maringgih dan tidak mampu untuk melunasinya. Apa boleh buat, Siti Nurbaya akhirnya tidak mampu menolak keinginan orang tuanya…demikian sepenggal kisah dari Novel tersebut di atas.
BACA JUGA: Solusi Agar Tak Kawin Lari
Pada akhirnya, kata Siti Nurbaya digunakan untuk mengungkapkan berbagai praktek kawin paksa pada masa-masa setelahnya, bahkan sampai zaman kita sekarang ini. Misalnya “jangan ada lagi Siti Nurbaya”, atau “cukup Siti Nurbaya yang mengalami hal itu”, dst. Slogan-slogan seperti ini, seolah mengisyaratkan bahwa kawin paksa yang menimpa Siti Nurbaya adalah suatu kejadikan yang dzolim dan jelek. Benarkah asumsi seperti ini ? simak penjelasannya dari sudut pandang fiqh berikut ini.
Penetapan bolehnya seorang wali untuk melakukan Al-Ijbar (Pemaksaan) nikah wanita yang ada di bawah perwaliannya ada tiga keadaan :
1]. Seorang wanita yang tidak memiliki atau kurang memiliki keahlian dalam mempertimbangkan kemashlahatan dan kemudharatan.
Seperti anak kecil, orang gila,dungu dan yang sejenis dengannya. Maka boleh bagi walinya untuk memaksa mereka dalam suatu pernikahan, tanpa mengajak musyarawah, atau meminta pertimbangan, atau meminta ijin kepada mereka. Dan ini merupakan pendapat Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) kecuali Al-Hanafiyyah. Bahkan sebagian ulama’ menukil adanya ijma’.
Dalilnya hadits dari sahabat Urwah bin Az-Zubair –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا
“Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menikahi Aisyah pada saat dia (Aisyah) umur enam tahun. Kemudian beliau mengumpulinya saat usianya sembilan tahun. Beliau tinggal di sisinya selama tujuh hari.” [ HR. Al-Bukhari : 5158 ].
Musyawarah atau permohonan ijin terhadap mereka, tidak bermanfaat. Karena jenis wanita seperti ini, tidak mengerti apa itu menikah, lebih-lebih mempertimbangkan manfaat atau mafsadatnya. Sehingga pernikahan yang terjadi dalam kondisi seperti ini adalah sah. Karena Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- melakukannya.
2]. Seorang janda yang telah baligh dan berakal.
Jenis kedua ini, tidak boleh bagi walinya untuk menikahkannya secara paksa. Akan tetapi hendaknya didiajak untuk bermusyawarah (dimintai pendapatnya) serta meminta ijin kepadanya. Demikian menurut pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’). Bahkan sebagian ulama’ sampai menukil ijma’ dalam masalah ini.
Dalilnya sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata,Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
«لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
“Seorang janda tidak dinikahkan sampai dimintai ijin dan diajak musyawarah. Seorang perawan tidak dinikahkan sampai dimintai ijin.” Para sahabat bertanya : “Wahai Rosulullah ! Bagaimana ijinnya ?”Beliau menjawab : “Diamnya.” [ HR. Al-Bukhari : 5136 dan Muslim : 1491 ].
3]. Wanita perawan yang telah baligh dan berakal.
BACA JUGA: Bekerja Dapat Menjadi Mas Kawin?
Pada jenis ketiga ini telah terjadi silang pendapat di kalangan para ulama’. Pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’), diantara mereka Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, salah satu riwayat yang masyhur dari Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan selain mereka, bahwa seorang wali punya hak untuk memaksanya untuk dinikahkan lelaki yang menjadi pilihannya. Tanpa harus minta ijin, atau musyawarah, atau persetujuan. Adapun Hanafiyyah, berpendapat tidak bolehnya hal tersebut.
Dalil mereka (jumhur), sebuah riwayat dari Ibnu Abbas –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata, sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Seorang perawan, dimintai ijin dan diajak musyawarah. Dan ijinnya adalah diamnya.” [HR. Muslim : 1421 dan selainnya]. [Bersambung]
Facebook: Abdullah Al-Jirani