MAKNA ucapan Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri”, artinya:
لَا تُزَوَّجُ حَتَّى تَنْطِقَ بِالْإِذْنِ بِخِلَافِ الْبِكْرِ
“seorang janda itu tidak boleh dinikahkan, sampai dia mengijinkannya dengan ucapan. Lain halnya dengan perawan.”
لَا تُزَوَّجُ حَتَّى تَنْطِقَ بِالْإِذْنِ بِخِلَافِ الْبِكْرِوَاعْلَمْ أَنَّ لَفْظَةَ أَحَقُّ هُنَا لِلْمُشَارَكَةِ مَعْنَاهُ أَنَّ لَهَا فِي نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ حَقًّا وَلِوَلِيِّهَا حَقًّا وَحَقُّهَا أَوْكَدُ مِنْ حَقِّهِ فَإِنَّهُ لَوْ أَرَادَ تَزْوِيجَهَا كُفُؤًا وَامْتَنَعَتْ لَمْ تُجْبَرْ وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ كُفُؤًا فَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ أُجْبِرَ فَإِنْ أَصَرَّ زَوَّجَهَا الْقَاضِي
Dan perlu untuk diketahui, sesungguhnya lafad “Lebih berhak” dalam hadits di atas memiliki makna berserikat antara dia (janda) dan walinya. Seorang janda memiliki hak, dan walinya juga memiliki hak. Akan tetapi, hak janda lebih kuat dari hak walinya. Oleh karena itu, jika seorang wali ingin menikahkan anaknya yang berstatus janda (misalkan) dengan lelaki yang sepandan menurutnya lalu anaknya menolak,maka tidak boleh untuk dipaksa. Sebaliknya jika dia ingin menikah dengan laki-laki yang sepadan, kemudian walinya menolak menikahkannya, maka walinya dipaksa. Jika tetap tidak mau, maka yang menikahkannya qodhi (hakim) di negeri dia tinggal. [Syarh Shohih Muslim : 9/204 ].
BACA JUGA: Solusi Agar Tak Kawin Lari
Di dalam hadits di atas, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan hak kepada seorang janda untuk menentukan nasibnya dalam suatu pernikahan. Apakah akan menyetujui atau menolaknya. Dan apakah akan menikah dengan si fulan atau si ‘alan. Dimana hak ini lebih kuat daripada hak walinya terhada dirinya.
Mahfum mukhalafahnya (konsekwensi logisnya), berarti perawan tidak memiliki itu. Artinya : perawan memiliki hak terhadap dirinya, sebagaimana walinya juga punya hak terhadap dirinya. Akan tetapi hak walinya lebih kuat dan lebih besar darinya.
Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, hadits di atas menunjukkan, bahwa permohonan ijin wali kepada wanita yang di bawah perwaliannya yang berstatus perawan, bersifat anjuran saja, bukan wajib. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh An-Nawawi –rahimahullah- beliau berkata :
وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبِكْرِ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ فَاخْتَلَفُوا فِي مَعْنَاهُ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وبن ابي ليلى وأحمد واسحق وَغَيْرُهُمُ الِاسْتِئْذَانُ فِي الْبِكْرِ مَأْمُورٌ بِهِ فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ جَدًّا كَانَ الِاسْتِئْذَانُ مَنْدُوبًا إِلَيْهِ وَلَوْ زَوَّجَهَا بِغَيْرِ اسْتِئْذَانِهَا صَحَّ لِكَمَالِ شَفَقَتِهِ
“Adapun ucapan nabi pada diri wanita yang berstatus perawan “Seorang perawan jangan dinikahkan, sampai dimintai ijin”,maka para ulama’ berselisih pendapat dalam maknanya. Imam Asy-Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan selain mereka menyatakan : bahwa permohonan ijin pada dari seorang perawan, diperintahkan. Jika walinya adalah bapaknya atau kakeknya, maka permohonan ijin bersifat anjuran saja. Jika dia dinikahkan tanpa ijinnya, maka sah pernikahannya karena kesempurnaan kasih sayangnya.” [ Syarh Shohih Muslim : 9/204 ].
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata :
وَقَالَ الْآخَرُونَ يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَهَا وَلَوْ كَانَتْ بَالِغًا بِغَيْرِ اسْتِئْذَانٍ وَهُوَ قَوْلُ بن أَبِي لَيْلَى وَمَالِكٍ وَاللَّيْثِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَمِنْ حُجَّتِهِمْ مَفْهُومُ حَدِيثِ الْبَابِ لِأَنَّهُ جَعَلَ الثَّيِّبَ أَحَقَّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ وَلِيَّ الْبِكْرِ أَحَقُّ بِهَا
“Yang lain menyatakan : seorang bapak boleh untuk menikahkan anak perempuannya yang telah baligh tanpa ijinnya. Dan ini merupakan pendapat Ibnu Abi Laila, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ahmad (bin Hambal), dan Ishaq (bin Rahawaih). Diantara dalil mereka, adalah mafhum (konsekwensi logis) dari hadits bab (hadits Ibnu Abbas yang telah kami sebutkan, pent.). karena beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjadikan seorang janda memiliki hak terhadap dirinya dari walinya. Maka hal ini menunjukkan, sesungguhnya wali anak wanita yang masih perawan lebih berhak terhadapnya (dari dirinya sendiri).”[ Fathul Bari : 9/193].
BACA JUGA: Bekerja Dapat Menjadi Mas Kawin?
■Kesimpulan :
1]. Boleh bagi seorang bapak untuk memaksa anak perempuannya yang masih berstatus perawan, untuk menikah dengan lelaki yang menjadi pilihannya. Walaupun tanpa mengajak musyawarah atau meminta ijin dari anaknya tersebut. Dan walaupun anak perempuannya tidak suka atau kurang suka dengan pilihan bapaknya. Apalagi jika ada sebab-sebab tertentu yang memaksa orang tua untuk memutuskan seperti itu.
2]. Jika terjadi praktek seperti ini, maka pernikahan sah menurut Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dengan keterangan yang telah kami sebutkan di atas.
Facebook: Abdullah Al-Jirani