KETUA Umum PP Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah dalam akun resmi instagram @pp_fatayatnu_ menyatakan bahwa pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) harus diproses secara hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negara kita.
Margaret yang juga merupakan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan bahwa biasanya korban enggan melaporkan kasus KDRT dengan berbagai pertimbangan.
“Banyak pertimbangan korban untuk melaporkan kasus KDRT. Pertimbangan anak salah satunya. Lebih berat lagi kalau korban adalah publik figur,” ujarnya.
Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, Ketua Bidang Advokasi, Hukum dan Politik PP Fatayat NU menyatakan bahwa bentuk-bentuk KDRT yang tertuang di UU PKDRT meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).
BACA JUGA: Lesti Kejora Cabut Laporan KDRT, Ini Alasannya
Dalam Pasal 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (PKDRT) mendefinisikan KDRT sebagai,
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. ”
Ia berharap, proses hukum terhadap pelaku tetap dilanjutkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Termasuk memberikan contoh kepada masyarakat bahwa ada punishment bagi para pelaku KDRT.
Menilik Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), FYI, menunjukkan bahwa hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia.
Sebanyak 79,5 persen atau 16.745 korban adalah perempuan. Sisanya, yakni 2.948 KDRT menimpa laki-laki.
Yahya Zainul Ma’arif, Lc., M.A., Ph.D. yang lebih akrab disapa Buya Yahya adalah pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah yang berpusat di Cirebon, juga memberikan pendapat tentang KDRT ini dalam sebuah channel YouTube.
Yang pertama adalah, jika benar istri sudah mengabdi bahkan merajakan suami, maka istri tidak durhaka. Kemudian yang kedua, jangankan sudah dipukul berkali-kali, baru dipukul satu kali saja istri sudah diperkenankan untuk meminta cerai kepada suami. Karena perempuan bukan untuk dipukuli.
“Laki-laki bodoh, laki-laki dungu yang memukuli istrinya. Saya itu heran, kok bisa memukul seorang istri itu nalarnya di mana? Siapapun. Bahkan laki-laki hebat itu kalau saja istrinya itu layak untuk dipukul, tidak akan dipukulnya,” tandas Buya Yahya.
“Itu laki-laki pengecut. Itu di luar tidak berani, pengecut, penakut, laki-laki begitu. Kalau memang tidak mau, lepaslah istri itu biar hidup bebas, jangan sampai dipukuli. Memukul perempuan di pasar saja dosa, apalagi memukul ibu dari anak-anaknya,” Buya Yahya menambahkan.
BACA JUGA: KDRT, Kok Bisa?
“Ingat, yang perlu diperhatikan pasca cerai adalah mampukah Anda menjanda?” tanya Buya Yahya.
“Anda kalau punya suami yang memukuli Anda setiap saat, tapi masih memenuhi segala kebutuhan pribadi Anda, masih lumayan. Daripada menjanda, kemudian berzina. Siapapun yang mau menjanda, pesan kami adalah soal hal ini. Sebab, kalau sudah menjadi janda itu setannya banyak,” jelas Buya Yahya.
“Artinya, kalau Anda bisa menjamin bahwa setelah menjanda aman, maka lakukan. Tapi kalau tidak, punya suami memukuli istri setiap hari lebih bagus, dari pada harus berzina di saat berpisah. Hati-hati, ini harus diperhatikan. Sebagian perempuan itu begitu mudah meminta cerai, setelah itu dia punya kebutuhan pribadi tidak bisa diwakilkan ke siapapun, setelah itu melakukan kehinaan,” Buya Yahya menambahkan.
Buya Yahya juga menegaskan bahwa meminta tolong kepada orang lain ketika dizalimi itu tidak salah. Dan menceritakan kepada orang yang akan bisa menolong itu tidak menggunjing, asalkan seperlunya. []
SUMBER: INSTAGRAM | SUARA.COM | YOUTUBE AL BAHJAH TV