Oleh: NS Risno
SUATU ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyampaikan firman Allah surat Al Baqaroh ayat yang ke 245 kepada para sahabat.
“Barangsiapa yang memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang banyak.Dan Allah menahan dan melapangkan (rizki) dan kepada- Nya-lah kamu dikembalikan”.
Tiba-tiba berdiri salah seorang sahabat seraya berkata, “Ya Rasulullah, apakah benar Allah meminta pinjaman kepada kita?”
“Ya benar,” jawab Rasulullah.
“Apakah Allah akan memberi yang lebih baik dari yang aku pinjamkan?” tanya sahabat itu.
“Ya benar,” jawab Rasulullah.
“Kalau begitu mana tangan engkau ya Rasulullah?” pinta sahabat itu.
“Untuk apa?” tanya Rasulullah.
“Sesungguhnya aku memiliki kebun, dan tidak ada seorangpun yang memiliki kebun menyamai kebun miliku. Dan kebun itu akan aku pinjamkan kepada Allah.”
Rasulullah kemudian bersabda, “Kamu pasti akan mendapat tujuh ratus lipat kebun yang serupa”.
Sambil berucap Takbir, “Allahu Akbar,” sahabat Nabi yang bernama Abu Darda’ itu segera pergi menuju kebun kesayanganya.
Di sana ia mendapati istri dan anaknya sedang berada dalam kebun. Abu Darda’ pun segera memanggil dan berkata, “Ummu Darda, keluarlah. Sesungguhnya kebun ini sudah aku pinjamkan kepada Allah.”
Mendengar ucapan suaminya, istri Abu Darda’ yang sholehah yang ketika itu melihat anaknya sedang memegang dan mengunyah kurma segera berkata, “Keluarkan buah kurma itu wahai anakku, sesungguhnya kebun ini sudah dipinjamkan kepada Allah”.
Ke mana tujuan hidup seseorang, ke situlah gerak hidupnya akan menuju. Ketika seseorang tujuan hidupnya adalah dunia, maka gerak hidupnya akan menuju ke arah dunia. Dan ketika tujuan hidupnya adalah akhirat, maka gerak hidupnya akan menuju ke akhirat. Orang akan berjuang dan berkurban demi mendapatkan tujuan hidupnya.
Orang yang tujuan hidupnya adalah dunia, ketika ditawari tentang pahala berlipat, surga yang luasnya sepenuh langit dan bumi ataupun ridha Allah, maka semua itu tidak akan pernah menarik hatinya apalagi menggerakan raganya untuk bisa mendapatkanya.
Sebab akhirat bukanlah yang menjadi tujuan hidupnya. Akan sangat berbeda ketika orang tersebut ditawari tentang isi dunia, misalnya tentang harta, pangkat, kekuasaan, wanita ataupun nama yang masyur, maka ia akan bangkit berjuang untuk mendapatkanya. Bahkan kalau cara baik tidak bisa mendapatkan, cara curang dan keji pun akan ditempuhnya asalkan bisa mendapat apa yang inginkannya.
Berbeda dengan orang yang tujuan hidupnya adalah akhirat. Ketika mendapat tawaran tentang adanya pahala yang berlipat, surga, bidadari-bidari ataupun ridha Allah, maka sangat gembira hatinya dan ia akan bangkit berjuang untuk mendapatkanya.
Sebagaimana Abu Darda, ketika Rasulullah mengabarkan bahwa siapa yang bersedia memberi pinjaman kepada Allah (menafkahkan hartanya dijalan Allah), kelak di akhirat Allah akan membayar dengan yang lebih baik serta berlipat ganda. Maka Abu Darda’ segera bangkit dan tanpa berpikir eman ia pinjamkan kebun kesayayanganya kepada Allah.
Abu darda tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Dunia hanya persinggahan sesaat yang menghatarkan dirinya menuju tujuan hidupnya yakni negeri akhirat. Maka Abu Darda pun rela menukar kesenangan yang ada di dunia dengan kesenangan yang ada di akherat kelak. Wallahu A’lam. []
Magetan, 4 Januari 2018