CAMPUR baur antara mahasiswa dan mahasiswi di perguruan tinggi di nusantara melahirkan kisah unik tersendiri, menciptakan alur kehidupan yang tak terbayangkan bagi mereka sebelumnya.
Semangat keagamaan untuk mendalami ilmu agama lebih lanjut bisa dilatarbelakangi banyak hal. Kekaguman kepada lawan jenis sangat mungkin menjadi salah satu bibit subur yang menghentak pikiran untuk lebih belajar ilmu syar’i. Dan ini banyak terjadi, bukan?
BACA JUGA: Memetik Buah Takwa
Seorang mahasiswa kagum dengan rekan mahasiswi yang lebih dulu terpercik hidayah lalu ingin mempersuntingnya kelak.
Sebaliknya, seorang mahasiswi kagum dengan rekan mahasiswanya yang lebih dahulu terintikkan hidayah. Ia berharap kelak lelaki itu menyuntingnya.
Begitulah urusan hati. Ia terbolak-balik. Siapakah yang tak kagum dengan rekan kelas atau kakak tingkat yang shaleh, tampan, kokoh dalam ilmu dan ibadah lagi tangkas berorganisasi?
Siapa lah yang tak kagum dengan rekan kelas atau adik tingkat yang dahulunya centil namun kini berhijab sempurna, rajin mengaji, mulai menata diri dalam rengkuhan iman?
Niat hati untuk lebih memahami agama terawali bukan karena semata Allah. Tetapi ini wajar walaupun keliru. Kesalahan terbesar adalah tetap berada dalam carut marut niat yang keliru dan salah arah.
Iya, begitulah. Allah lah yang menentukan alur awal bagaimana hidayah itu menyapa. Dan sekali lagi, terus menerus dalam buruknya niat lah yang tak benar.
Dahulu, demikian sebagian para salaf. Niat mereka awalnya bukan karena Allah. Mereka berujar:
كنا نطلب العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله. . .
“Dahulunya kami menuntut ilmu bukan karena Allah. Namun ilmu enggan (masuk ke hati) kecuali setelah diniatkan kembali karena Allah.”
BACA JUGA: Ciri-ciri Orang yang Bertakwa
Maka semakin bertambahnya ilmu, semakin berkualitasnya kefaqihan, semakin pula niat tertata karena Allah semata.
Kami masih ingat, di hadapan para mahasiswanya, syaikh Samiy berwejang: “Keadaan terburuk seorang hamba adalah saat apa yang dia lakoni bukan karena Allah.” []