HUBUNGAN Rasulullah ﷺ dengan pamannya, Abbas, terjalin sebelum penaklukan kota Makkah. Sebuah hubungan yang sangat kuat dan rekat.
Selain itu, sudah ada kesepahaman antara beliau dengan Abbas dalam membagi tugas sehingga Abbas mampu memainkan peran penting saat diperlukan.
Abbas senantiasa berada di kota Makkah untuk mengawasi kegiatan kaum Quraisy dan melaporkan semua gerak-gerik mereka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika terjadi perang Badar, Abbas mau tidak mau harus ikut serta dalam barisan pasukan kaum Quraisy. Dia harus memperlihatkan persekutuannya dengan mereka di dalam perang tersebut walaupun secara lahiriah belaka.
BACA JUGA: Tatkala Surah Al-A’raf Membuat Ibnu Abbas Menangis
Itulah yang dimaksudkan oleh Rasulullah ﷺ dengan pernyataannya, “Sesungguhnya Abbas terpaksa berperang bersama mereka.”
Meletuslah perang Badar. Peperangan berakhir dengan kemenangan yang berhasil dipetik oleh kaum muslimin atas musuh-musuh Islam dan Allah.
Kaum Quraisy harus menelan kekalahan berat setelah semua pembesar, jawara, dan pendekar yang mereka miliki gugur di medan pertempuran. Abbas selamat dari kematian. Tetapi dia harus menjadi tawanan kaum muslimin.
Malam harinya, Rasulullah ﷺ tidak bisa tidur sedetik pun. Matanya seakan-akan tidak bisa diajak kompromi. Kesedihan tampak sekali pada raut wajahnya yang mulia itu. Beliau tidak dapat menyembunyikan perasaan kasihannya kepada pamannya yang sedang di penjara itu.
Sebagian sahabat ada yang bertanya, “Kenapa engkau tidak bisa tidur wahai Rasulullah? Apakah gerangan yang membuatmu seperti itu? Tolong katakan kepada kami, mungkin saja kami bisa membantu!”
“Aku mendengar suara rintihan Abbas dalam ikatannya,” jawab beliau.
Kaum muslimin merasa berat hati menyaksikan Nabi yang mereka cintai dirundung kesedihan dan kerisauan. Sebagian dari mereka segera menghilang menuju tempat ditawannya Abbas dan segera melepaskan belenggunya.
Mereka membebaskan Abbas. Mereka kembali untuk melaporkan kabar gembira kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang mereka perbuat.
“Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya kami telah melepaskan ikatan Abbas. Mudah-mudahan engkau bisa gembira,” kata mereka.
Tetapi memang Rasulullah ﷺ bukanlah orang yang mau berlaku berat sebelah kepada semua tawanannya. Beliau tidak ingin memberikan perlakuan istimewa kepada pamannya, Abbas, di atas semua tawanan lainnya. Karena hal itu bisa menjadi teladan buruk di kemudian hari.
Beliau pun memerintahkan, “Kalau begitu, lepaskan saja semua tawanan. Dan tawarkan kepada semua suku Quraisy untuk menebus masing-masing tawanan mereka.”
BACA JUGA: Mengapa Kau Mundur, Hai Ibnu Abbas?
Setelah itu, terjadilah pertukaran antara suku Quraisy dengan Rasulullah ﷺ. Mereka diminta untuk menebus rekan-rekannya yang ditawan. Di antara para tawanan yang ada bersama Abbas terdapat dua anak laki-laki, putra paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya, Uqail dan Naufal.
Tetapi Rasulullah ﷺ tidak mau menyerahkan kedua keponakan Abbas itu secara cuma-cuma. Beliau memperlakukan mereka berdua itu sejajar dengan tawanan lainnya. Kedua anak itu juga diminta tebusannya oleh beliau seperti tawanan lainnya. Tebusan itu diminta dari Abbas sebagai orang yang paling dekat.
“Wahai Abbas! Seperti diketahui, engkau harus menebus dirimu dan kedua keponakanmu, Uqail bin Thalib dan Naufal bin Al-Haris. Anda juga harus menebus sekutu Anda, Uqbah bin ‘Amr dan saudara dari Haris bin Fihr karena aku tahu benar engkau adalah orang kaya.”
Penawaran itu tentu saja ditolak oleh Abbas. Dia merasa sebagai orang muslim yang terpaksa mengikuti perang bersama orang-orang kafir Quraisy. []
Sumber: Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam/Karya: Nasiruddin S.AG, MM/Penerbit: Republika