ALLAH SWT dengan kuasanya telah menciptakan benda langit yang beragam. Pada malam hari, bintang-bintang dan benda angkasa lainnya terlihat seperti butiran-butiran emas yang ditaburkan di gelapnya langit malam. Betapa hiasan yang paling indah yang Allah ciptakan untuk kita syukuri keberadaanya.
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala,” (QS. Al-Mulk: 5).
Kata zayyannaa (menghiasi) yang digunakan dalam ayat ini merupakan bentuk dasar dari kata ziinah (perhiasan). Allah SWT berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiaan dari Allah yang telah disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya’,” (QS. Al-Araf: 32).
BACA JUGA: Detik Terakhir Kehidupan Nabi, Tatkala Kabar dari Langit Telah Terputus
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya,” (QS. Al-Kahfi: 7).
Dalam menafsirkan ayat ke-5 surat al-Mulk ini, Ibnu Katsir juga mengutip ayat ke-6 hingga ayat ke-10 surah ash-Shaffat. Dalam ayat tersebut, kata zayyannaa juga digunakan.
Allah SWT berfirman,
(٦)إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ(٧) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ
(٨)لا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ
(٩)دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ
(١.)إِلا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang. Dan (Kami) telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka, mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para mailakat dan mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka dan mereka akan mendapat azab yang kekal, kecuali (setan) yang mencuri (pembicaraan); maka dia dikejar oleh bintang yang menyala,” (QS. Ash-Shaffat: 6-10).
Pada ayat ini, kata yang digunakan bukan an-najm (bintamg), tetapi al-kawaakib, bentuk plural dari kaukab (planet). Dalam kamus bahasa Arab, terdapat perbedaan makna antara kata an-najm dan al-kaukab.
Dalam al-Mu’jam al-Wasiith disebutkan, al-kaukab artinya, jirmun samaawiyyun (benda angkasa) yaduuru hawlasy syamsi (yang beredar mengelilingi matahari) wa yastadhii’u bi dhau ‘ihaa (dan memancarkan cahaya dari matahari).
Sedangkan arti kata an-najm adalah, ahadu al-ajram as-samaawiyyah al-mudhii’ah bi dzaatihaa (salah satu benda angkasa yang memancarkan cahayanya sendiri), wa mawaadhi’uhaa an-nisbiyyah fis samaa’i tsaabitatun (dan posisinya di angkasa relatif tetap). Dalam kamus ini juga diberikan contoh bintang angkasa, yaitu mahahari.
Ilmu astronomi modren menyatakan, bintang memiliki perbedaan dengan planet. Bintang memancarkan cahayanya sendiri, seperti matahari. Untuk itu, matahari disebut bintang. Sementara planet tidak memiliki cahaya, tetapi memantulkan cahaya matahari yang diterimanya.
Dalam al-Qur’an pun, penyebutan matahari (asy-syams), bila berlanjut dengan penjelasan sifat-sifat cahayanya, sering menggunakan kata siraaj. Sedangkan penyebutan sifat cahaya bulan (al-qamar) menggunakan kata nuur. Kedua kata ini, siraaj dan nuur, sama-sama berarti cahaya.
BACA JUGA: Diungkap Alquran, Inilah Gambaran Langit pada Peristiwa Kiamat
Perbedaannya, kata siraaj menunjukkan cahaya yang dipancarkan dari dalam dirinya sendiri. Sementara nuur mengindikasikan cahaya yang berasal dari luar dirinya, atau memantulkan cahaya yang didapatnya dari benda lain. Hal ini sangat jelas termuat dalam firman-Nya,
وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا
“Dan Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?” (QS. Nuh: 16). []
BERSAMBUNG
Sumber: Kerajaan Al-Qur’an/Hudzaifah Ismail/Penerbit: Penerbit Almahira/2012