Mutia Darmawan
Komunitas penulis Revowriter
mutia.darmawan@gmail.com
KEBAHAGIAAN pasti menyelimuti pasangan yang baru menikah, apalagi ketika pernikahan mereka berlangsung meriah. Undangan yang ramai dan makin semarak karena dihadiri oleh keluarga, sahabat dan kerabat. Sebutan raja dan ratu seharipun disematkan kepada keduanya. Tak lupa doa dan ucapan selamat membanjiri mulai dari tamu undangan hingga di media sosial. Kebahagiaan berlanjut sehari, sebulan, dua bulan, tiga bulan. Keduanya masih diliputi oleh cinta yang tak bertepi.
Dan Bidukpun dimulai
Namun setelah beberapa bulan, seringkali pasangan yang baru menikah merasa kecewa dengan pasangannya. Sosok asli pasangan mulai terlihat. Ternyata si dia tidak seperti yang dibayangkan sebelum menikah. Ada yang akhirnya ribut mulai dari perang suara hingga perang udara. Mulai dari percekcokkan mulut hingga kekerasan fisik. Tak ayal, barang pecah belah akhirnya benar- enar sesuai sebutannya, pecah dan terbelah belah.
BACA JUGA: Pemuda, Janganlah Menikah Jika Tak Siap 100 Persen
Perbedaan karakter yang mencolok mulai menjadi masalah. Ditambah beda sudut pandang terhadap segala sesuatu, mulai dari masalah sepele hingga yang berat, termasuk masalah ekonomi atau nafkah sering menjadi alasan untuk tak lagi harmonis.
Alih – alih berharap pernikahan yang bahagia, pasangan suami istri justru merasa kecewa dan menyesal dengan pernikahan mereka. Ada yang hanya berjalan seumur jagung, dan ada yang tetap bertahan bertahun-tahun walau harus memendam dalam-dalam rasa kecewa.
Ketika “Ekpektasi” tak Sesuai “Realita”
Saat kita menaruh harapan terlalu tinggi kepada pasangan, kita harus siap-siap kecewa. Karena yang banyak terjadi “ekpektasi” justru tak sesuai “realita.”
Sebaiknya jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap pasangan. Toh kita pun tak setinggi ekspektasinya.
Jika kecewa pada pasangan, coba ukur seberapa besar kira-kira rasa kecewanya kepada kita. Apakah kita tak pernah mengecewakan pasangan? Tidak? Yang ada malah sering dikecewakan? Coba jujur pada diri sendiri. Seberapa ikhlas kita menerima kondisi pasangan.
Pernahkah ketika kita kecewa atau kesal kemudian meninggikan suara terhadapnya? Pernahkah menuntut atas sesuatu yang tidak mampu dipenuhinya? Sulitkah kita memaafkannya hanya untuk hal sepele?
Coba ukur berapa besar rasa kecewanya terhadap sikap kita.
Tak ada manusia yang sempurna. Begitupun dalam pernikahan. Yang ada hanyalah dua orang yang tidak sempurna saling melengkapi untuk menjadi sempurna.
Kita hanya perlu mencintai ketidaksempurnaannya dengan cara yang sempurna.
Duhai istri,
Pernahkah tersenyum dan hanya tertawa saat setiap hari memungut handuk basah yang diletakkan suami di sembarang tempat? Pernahkah mengingatkannya dengan rasa sayang bukan dengan omelan?
Pernahkah sambil tersenyum meluruskan kembali pasta gigi yang sudah dipakai ketika tidak sesuai dengan kebiasaan kita?
Pernahkah tersenyum, menyalami serta mencium wajah suami lalu berkata terimakasih dan mengatakan betapa kita bersyukur saat ia pulang membawa uang dari rezeki yang halal untuk menafkahi kita walaupun tak seberapa?
Duhai suami,
Pernahkah terus menyantap makanan yang dimasak istri sambil tersenyum walaupun keasinan?
Pernahkah tertawa dan memungut barang-barang saat ia belum sempat merapikan rumah yang berantakan akibat mainan anak-anak?
Pernahkah tersenyum dan memeluknya setelah ia menangis karena tak tahan akan pekerjaan rumah tangga yang tak habis habisnya sementara harus menghadapi riuhnya tangisan anak-anak?
Pernahkah duduk mendengar ceritanya, keluh kesannya, yang mungkin bagi suami hanya persoalan sepele?
Hanya hal sederhana, namun sering kali kita sikapi dengan cara yang tidak sederhana. Padahal hanya perlu tersenyum, tertawa, bersabar dan bersyukur.
BACA JUGA: 5 Macam Kebahagiaan Menikah
Karena suatu saat mungkin hal-hal sederhana itulah yang akan sangat kita rindukan.
Kebahagiaan tak harus dengan kemewahan. Bahkan sering kali kebahagiaan justru hadir dalam hal yang sederhana.
Kita seringkali sibuk menangis dan kecewa hingga lupa cara bahagia. Padahal kita hanya perlu sibuk bahagia hingga lupa caranya menangis dan kecewa.
Suami merupakan partner istri dalam menggapai kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya. Kebahagiaan pasangan adalah sumber kebahagiaan rumah tangga. Di sinilah keduanya justru berlomba lomba dalam kebaikan untuk saling membahagiakan pasangannya.
Berumah di Tangga Surga
Tak ada resep rahasia agar bahagia dalam rumah tangga selamanya. Hanya perlu keikhlasan yang sempurna dalam kondisi apapun, kesabaran yang tak pernah berakhir dan hati yang selalu bersyukur.
Setiap pasangan hendaknya mengingat kembali apa tujuan pernikahan. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia berpasangan agar keduanya saling merasa tenteram? Agar terlahir dari pernikahan mereka generasi Rabbani yang akan meneruskan estafet perjuangan nantinya?
Bukankah dulu sebelum menikah keduanya sepakat untuk menyatukan visi misi berumah tangga, yaitu bahagia di dunia sampai ke syurga? Ya, Berumah di tangga syurga. Atau sehidup sesyurga.
Sejatinya, sakinah, mawaddah wa rahmah akan hadir pada pasangan yang mau mengalah, saling berlomba dalam kebaikan, mengakui kesalahan dan tak sungkan untuk memperbaiki diri demi terwujudnya visi misi pernikahan. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.