INI kisah tentang kebaikan semangkuk bakso dari sahabat saya waktu SMA, Sigit.
Kami lima berteman. Saya, Roy, Deni, Fajar dan Sigit. Di setiap pagi, Deni dan Sigit akan datang menjemput ke rumah saya menggunakan sepeda.
Saya membonceng di belakang. Semuanya menggunakan celana SMA karena siangnya kami langsung berangkat ke sekolah.
“Ayo main bulutangkis,” ajak Sigit.
Rumah Sigit bersebelahan dengan stasiun yang sudah tak terpakai dan gedungnya itu dijadikan beberapa lapangan bulutangkis.
Kami tidak membawa raket dan shuttle karena Sigit sudah menyediakannya.
Sigit tentu paling jago main bulutangkis itu. Semua KO.
Dalam pelajaran olahraga mewajibkan semua anak baru mengelilingi danau kecil di tengah kota, Sigit melibas lima putaran tanpa henti. Ia juara 1. Saya di belakangnya.
Usai main bulutangkis, kami berkumpul di rumah Sigit. Menunggu waktu berangkat sekolah.
BACA JUGA:Â Si Doel Anak Sekolahan
Saat itulah biasanya ada semangkok bakso masing-masing untuk kami berlima. Dari ibunya Sigit.
Saya tidak ingat lagi siapa nama penjual baksonya, namun saya ingat, itu adalah bakso yang paling enak yang pernah saya makan.
Jika melintas belakang stasiun kereta sekarang ini, saya pasti teringat Sigit dan ibunya. Rasa bakso itu bahkan masih terkecap di mulut saya. Kebaikan semangkuk bakso terus tertinggal dan ada.
BACA JUGA:Â Â Kue Kiriman, Dimarahi 2 Kali
Tapi bukan itu intinya.
Saya dan mungkin juga tiga teman lainnya sangat terkesan oleh kebaikan Sigit dan ibunya.
Kebaikan yang kita lakukan pada orang lain, sesederhana apapun, akan senantiasa membekas.
Orang dan waktu mungkin akan lewat. Namun kebaikan akan abadi sepanjang kehidupan kita. []