“Jika duduk di dalam rumah,” terang Dr. Tariq Suwaidan, “Ia (Abu Hanifah) tidak pernah menjulurkan kakinya ke arah rumah sang guru. Jika ia mengerjakan shalat, ia pasti mendoakan kedua orangtuanya dan sang guru.”
Masyaallah.. Pantaslah bila ilmunya amat berkah, dibutuhkan banyak orang, dan bermanfaat bagi masyarakat. Etika, adab, dan takzim pada guru merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam prosesi menimba ilmu.
BACA JUGA: Hukum Memberi Hadiah kepada Guru
Tak cukup hanya cerdas, pintar, dan semangat saja. Akhlak pada guru pun mesti baik, santun, dan memuliakan penuh ketulusan. Di antara kesuksesan dan kebesaran nama para ulama, ada perilaku yang baik lagi mulia pada guru-gurunya.
Abu Hanifah yang kita kenal hari ini sebagai Imam Hanafi, salah satu imam mazhab yang empat, amat memuliakan gurunya, Hammad bin Abu Sulaiman. Jangankan memincing dengan pandangan sinis, ucapan kasar atau perilaku tak pantas semisal melawan dan sebagainya, bahkan menjulurkan kaki ke arah rumah sang guru pun tak berani.
Apakah tidak boleh menjulurkan kaki ke arah rumah guru kita? Wallahu’alam. Saya tidak punya ilmu mengenai hal ini, biarlah kita simak penuturan Abu Hanifah berikut ini, “Aku tidak pernah menjulurkan kedua kakiku ke arah rumah Ahmad (Hammad) sebagai bentuk penghormatanku kepadanya. Rumahku dan rumahnya berjarak tujuh gang.”
Bukan sekadar pengakuan tanpa makna, melainkan pengokoh atas kesaksian sebagaimama Muwaffiq al-Makki menuturkan:
“Abu Hanifah tidak pernah sehari pun menjulurkan kedua kakinya ke arah rumah Hammad, padahal jarak rumahnya dan rumah Hammad sekitar tujuh gang.”
BACA JUGA: Hati-hati, Hal Ini Bisa Hilangkan Keberkahan Ilmu
Tujuh gang itu jauh, dipisahkan oleh rumah, tanah dan ruang yang terbentang. Tapi inilah bentuk penghormatan, takzim, dan memuliakan penuh ketulusan. Takut ilmu yang dipelajari tidak berkah, takut pengajarannya sia-sia, dan takut kebaikan dari sang guru sirna ditelan masa.
Pelajaran bagi kita, agar hidup bermanfaat dan ilmu berkah dunia akhirat. []