SUATU hari Umar bin Khaththab menyaksikan kekasihnya, Rasulullah SAW sedang berada di tempat minumnya. Tampaklah guratan-guratan tikar membekas di punggung Rasulullah dan hanya gantangan gandum yang tergantung di rumahnya. Tak terasa, air mata menetes di pelupuk mata Umar bin Khaththab. Ia tak kuat menahan haru. Di hadapannya seorang manusia besar yang amat berpengaruh, tetapi tak ada yang ia miliki di rumah.
Umar bin Khaththan kemudian berkata, “Wahai Rasul Allah, engkau telah mengetahui gaya hidup Kisra dan Kaisar.”
Rasulullah SAW menjawab, “Wahai putra Al-khaththab, relakah engkau jika akhirat menjadi milik kita dan dunia menjadi milik mereka?”
Inilah jawaban Rasulullah SAW, pemimpin yang sering menghabiskan waktunya untuk menahan lapar dan menangisi umatnya. Ia sangat murah hati kepada setiap yang membutuhkan. Kedermawanannya telah menghapus air mata orang-orang papa dan menumbuhkan kebahagiaan orang-orang yang tak berpunya.
BACA JUGA:
Rasulullah Terjatuh dan Pingsan Sebanyak Tiga Kali
Inilah yang Dilakukan Rasulullah di Rumah
Tetapi, terhadap dirinya sendiri ia bahkan harus menyelipkan beberapa buah batu agar lapar yang melilit itu tak terlalu terasa.
Inilah Nabi SAW, pemimpin yang kasih sayangnya mendahului kemarahannya. Ia lebih mudah luluh, hatinya mudah tersentuh, bahkan terhadap mereka yang tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Amat pedih dirasakan olehnya penderitaan umat manusia, dan amat besar keinginannya untuk membawa manusia kepada keselamatan.
Inilah Nabi SAW, pemimpin sejati yang selalu memikirkan umatnya bahkan hingga detik-detik ketika Malaikat Maut menjemput untuk mencabut ruhnya yang suci. Kepada kita, Nabi mengajarkan tentang betapa kecil dunia dibandingkan kebahagiaan akhirat. Nikmat yang kita rasakan hari ini tidak sebanding dengan segala kenikmatan yang telah Allah sediakan di surga.
Rasanya kini kita amat rindu dengan sosok pemimpin yang lebih mengedepankan akhirat. Pemimpin sejati seperti Rasulullah dan para sahabat-sahabat yang mulia. Mereka membangun kebesaran tanpa kemegahan dengan kekuatan jiwa dan ruhiyahnya. Sementara di negeri ini, kita mendapati kemegahan tanpa kebesaran. Kita memiliki gedung-gedung megah namun harga diri sudah tidak ada lagi. []
Sumber: Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan/Karya: Mohammad Fauzil Adhim/Penerbit: Pro-U Media