Oleh: Achmad Tuqo Syadid Billah
HARI ini, kebohongan adalah kehidupan kita sehari-hari. Yen ora edan, ora keduman, kata Jayabaya. Kita dipaksa kompromi dengan dusta. Dan akhirnya, kita dipaksa menikmatinya, lalu kita terlena, terjerat dengan sangat erat. Nyaris tak punya daya untuk lepas dari bualan dan ‘modal dusta’.
Lihatlah keadaan sekeliling kita. Kebohongan seolah menjadi tiket utama kesuksesan. Lihat saja para politisi. Semakin banyak ‘modal dusta’ yang dikoar-koarkan, semakin besar kemungkinan untuk menang. Setelah menang, setelah kedudukan yang ia perjuangkan dengan menghalalkan segala cara itu ia dapatkan, ia akan (segera) melupakan semua omongannya, seolah ia tak pernah sekali pun membicarakannya dan akan selalu mengelak ketika ia ditagih janji-janjinya.
Lihat juga pelajar kita. Semakin tidak berlaku jujur dalam ujian, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan nilai besar dan kelulusan yang menjanjikan. Padahal, nilai boleh saja besar, tapi kebermanfaatan ilmu dan keberkahannya NOL besar.
Lihat juga diri kita. Apakah kita akan terus-terusan menukar ridha Allah dengan kebohongan yang terus kita ada-adakan dalam kehidupan kita?[]