SALAH satu dalil yang diperselisihkan ulama kehujjahannya adalah istihsan. Para ulama mendefinisikan istihsan dengan berbagai definisi, di antaranya, “Mengamalkan dalil yang paling kuat dari dua dalil yang ada”.
Ada juga yang mendefinisikan, “Beralih dari hukum yang ditunjukkan oleh qiyas kepada qiyas lain yang dianggap lebih kuat”.
Adapun definisi yang dipilih oleh Dr. Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi adalah, “Mengamalkan dalil atau hukum yang paling baik (ahsan) dan paling kuat (aqwa), dari dalil-dalil dan hukum-hukum yang ada” (العمل بالأحسن والأقوى من الأدلة والأحكام).
BACA JUGA: Khitbah dan Tunangan, Apa Bedanya?
Contoh istihsan menurut Al-Khadimi, adalah kebolehan memandang perempuan yang dilamar/dikhitbah. Memandang perempuan non-mahram, menurut beliau, asalnya haram, berdasarkan firman Allah ta’ala:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.” (QS. An-Nuur [24]: 30)
Dan perempuan yang sedang dilamar itu statusnya non-mahram (ajnabiyyah), maka berdasarkan keumuman makna Ayat di atas, harusnya memandangnya juga terlarang.
Namun, ada Hadits yang menunjukkan bolehnya memandang perempuan yang mau dilamar, yaitu sabda Nabi:
اذهب فانظر لها فإنها أحرى أن يؤدم بينكما
Artinya: “Pergi dan lihatlah perempuan itu, karena itu bisa melanggengkan hubungan kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini mengecualikan memandang perempuan yang dilamar dari keumuman larangan memandang perempuan ajnabiyyah. Dan pengecualian ini oleh sebagian ulama dinamakan istihsan.
Kebolehan memandang perempuan yang dilamar, dianggap lebih baik, lebih kuat dan lebih layak dibandingkan keharamannya, karena dengan adanya aktivitas melihat (nazhar) ini, akan melahirkan sikap saling mengenal dan saling memiliki kecenderungan (saling menyukai) dari kedua pihak yang ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan.
BACA JUGA: Syarat Khitbah yang harus Dipenuhi
Selain itu, keharaman memandang perempuan ajnabiyyah, ‘illahnya adalah menjaga kehormatan dan melindungi diri dari fitnah, dan ‘illah ini tidak terwujud saat memandang perempuan yang dilamar, karena saat proses nazhar ada mahram dari si perempuan.
Juga tujuan si laki-laki memandang perempuan yang dia lamar, adalah untuk mengenal dan membina hubungan yang lebih serius ke jenjang pernikahan, bukan untuk main-main dan menimbulkan fitnah dan kerusakan.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Ta’lim ‘Ilm Al-Ushul, karya Dr. Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Halaman 241-242, Penerbit Maktabah Al-‘Ubaikan, Riyadh, Saudi Arabia.
Oleh: Muhammad Abduh Negara