KEBUTUHAN adanya ahli fiqih yang kokoh ilmunya di zaman sekarang, bukanlah sekadar untuk menukilkan hasil ijtihad dan kajian ulama terdahulu pada persoalan-persoalan lama yang telah selesai dibahas. Jika sekadar menukil, tak perlu mendalam fiqihnya, cukup bisa baca kitab Arab dan mengerti sedikit mushthalahat fuqaha.
Ahli fiqih yang kokoh ilmunya, di masa kapan pun, tanggung jawabnya adalah untuk mengkaji berbagai macam persoalan baru yang dihadapi umat Islam, dan menjawabnya dengan kedalaman ilmunya. Ini yang menjadi tugas utama para ahli fiqih setiap zamannya, karena tak ada ahli fiqih yang kekal abadi hidup di muka bumi.
BACA JUGA: Tajdid Ushul Fiqih Ala Al-Qaradhawi
Sa’id bin Al-Musayyib sudah wafat, Abu Hanifah sudah wafat, Asy-Syafi’i sudah wafat, Al-Ghazali sudah wafat, Ibnu Taimiyyah sudah wafat, As-Suyuthi sudah wafat, bahkan Wahbah Az-Zuhaili juga sudah wafat. Persoalan-persoalan baru yang baru hadir sepeninggal mereka, tak akan bisa mereka jawab.
Karena itulah, sebagian ulama menyatakan, di setiap masa harus terus ada seorang mujtahid, yang punya kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan di zaman itu. Jika tidak umat Islam akan kebingungan menghadapi persoalan-persoalan baru. Atau bersikap defensif, menjauhi semua kemajuan dan perkembangan zaman, karena khawatir hal itu diharamkan dalam Islam, padahal bisa jadi ia punya kemaslahatan besar bagi umat Islam.
Ijtihad pun memiliki varian. Jika tidak mampu ijtihad muthlaq, ijtihad juz’i pun bisa. Bahkan, jika ijtihad fardi tak terlalu kokoh, bisa ijtihad jama’i. Bahkan ijtihad jama’i di masa sekarang lebih baik, lebih kokoh dan lebih maslahat bagi umat Islam, karena kemungkinan tergelincir lebih kecil dibandingkan ijtihad fardi.
Dan alhamdulillah, itu sudah berjalan. Banyak lembaga-lembaga fiqih, baik tingkat internasional atau khusus satu negara, yang memberikan fatwa atas berbagai persoalan baru yang muncul, baik seputar muamalah, teknologi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain.
Kembali lagi, inilah tujuan belajar fiqih dan semua ilmu yang mengitarinya. Bukan sekadar jadi penghafal atau penukil, tapi menjadi rujukan umat sekaligus pencerah umat atas berbagai persoalan baru yang perlu dijawab sesuai standar fiqih Islam.
BACA JUGA: Bermadzhab dalam Fiqih, Pentingkah?
Meski dalam proses menuju kekokohan ilmu tersebut, seorang pembelajar fiqih harus melalui tahapan belajar fiqih madzhab (baca: fiqih secara runut), menghafal berbagai masail yang sudah pernah dibahas para ulama terdahulu beserta dalil-dalilnya. Tak mungkin lahir ahli fiqih yang kokoh ilmunya, tanpa melalui proses ini.
Jika ada yang tak melalui proses ini, namun kemudian banyak berwacana seputar fiqih, seputar ahkam ‘amaliyyah, baik ‘ibadah, mu’amalah, dan lainnya, maka ia tak sedang ber-fiqih Islam, tapi sedang meracau saja. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara