Oleh: Chudori Sukra
– Pengasuh Ponpes Riyadlul Fikar, Banten, menulis opini dan prosa di berbagai harian nasional dan daerah, di antaranya Republika, Kompas, Jurnal Toddoppuli, Solopos, Kabar Madura, Radar Banten, NU Online, alif.id, nusantaranews.co dan lain-lain.
– chudorisukra@gmail.com
TIDAK sedikit orang cerdas Indonesia di era medsos ini yang menguasai kedalaman bahasa Arab, seperti balaghah, mantiq, atau mufradat al-gharibah. Banyak juga yang bicara fasih dengan menguasai dan menghafal berbagai dalil agama yang ngelotok di kepala. Padahal, tidak jarang akademisi keturunan Arab sendiri yang kurang fasih menggunakan bahasa Arab dengan baik dan benar.
Memang banyak kitab-kitab terkenal yang dijarakan di lingkungan pesantren di negeri ini, misalnya yang dikarang oleh Syekh Nawawi (Nasha’ihul Ibad) sangat kental dengan dalil-dalil yang menghiasi tiap halamannya. Terlebih karya-karya Ibnu Hajar seperti Fathul Bari, dan lain-lain.
Berbagai kisah menarik dengan narasi-narasi lugas ditampilkan, dari kisah seorang berilmu yang kemudian menjadi monster (tanpa dibekali hidayah), tentang keutamaan membaca syahadat, keberkahan membaca istighfar, terkabulnya hajat dan keinginan berkat izin dan ridho Allah, hingga keutamaan membaca basmalah dan hamdalah, dan seterusnya.
BACA JUGA: Inilah 5 Tanda Orang Bertakwa, Muslim Harus Tahu!
Kecerdasan Orang Bertakwa, Apa Dalilnya?
Ketika saya berbincang dengan mereka, kadang merasa takjub ketika mereka menantang saya dengan kata-kata, “Mana dalilnya, Bung?” Bagi saya, pertanyaan itu lumrah saja, karena selama ini mereka cukup bergelimang dengan kitab-kitab yang marak akan dalil-dalil agama seperti yang saya sebutkan di atas. Meskipun kata-kata yang lebih layak diucapkan adalah: “Bung, tolong saya dikasih tahu dalilnya.”
Memang luas sekali cakupannya jika kita membicarakan dalil-dalil agama, atsar atau maqalah. Bahkan, dalam ilmu-ilmu yang menyangkut cabang atau pendukung Alquran, tak kalah banyaknya bagaikan luasnya lautan samudera, misalnya tafsir, hadits, nahwu-sharaf, tajwid, fiqih hingga ushul fiqih dan lain-lain. Meski pada hakikatnya, setiap penguasaan ilmu, sejatinya Tuhan-lah yang menganugerahi pemahamannya dalam pikiran kita semua (al-Alaq: 4-5).
Pengertian mendapatkan ilmu “bil-qalam” dalam surah tersebut, meniscayakan adanya perantara (wiratsah), baik melalui benda, binatang, manusia, bahkan menemukan sebungkus kacang dari kertas koran, dapat menunjukkan kita pada hidayah ilmu yang tak disangka-sangka, karena Tuhan Maha Berkehandak melalui cara dan jalan apapun.
Jika ingin melimpahkan karunia ilmu kepada manusia, Allah berkuasa mutlak untuk memberikan karunia-Nya, baik melalui ilham atau petunjuk langsung, maupun melalui lembaga pendidikan pesantren, berita di ponsel, televisi, menghadiri majlis ta’lim, mendatangi guru atau mursyid, entah bagaimanapun cara dan prosesnya, segala pengetahuan itu menjadi tersibak sesuai dengan ketetapan dan ketentuan Allah Swt.
Kecerdasan Orang Bertakwa, Abdullah bin Mas;ud dan Abu Hanifah
Kita mengenal Abdullah bin Mas’ud, seorang yang polos dan lugu, dan kerapkali sibuk mengesol sandal Nabi. Dengan kegemaran menguping dan mengikuti jejak-langkah Nabi, ia kemudian tumbuh dewasa menjadi ahli ilmu yang menjadi banyak rujukan para sahabat untuk meminta petuah darinya.
Bahkan, seorang ulama besar dari Kufah (Irak) Abu Hanifah, mengakui kredibilitas beliau sebagai khazanah ilmu-ilmu hadits, dan bersanad langsung kepada Abdullah bin Mas’ud selaku guru andalannya.
Kita pun mengenal pakar dan ahli tafsir generasi pertama, Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) yang langsung didoakan Nabi, hingga ia mampu menguasai takwil-takwil Alquran yang kemudian diajarkan kepada kita semua hingga hari ini.
BACA JUGA: Ada 5 Rintangan Takwa, Muslim Harus Tahu!
Selain itu, tak asing lagi Abu Hurairah (Abdurrahman bin Syahrin) yang pernah mengakui bahwa dirinya tergolong orang yang lemah memorinya dan gampang lupa. Tak lama kemudian, Nabi memerintahkan agar membentangkan sorban ke dadanya seraya mendoakannya. Seusai peristiwa itu, daya ingatnya begitu cemerlang, dan ia dapat menghafal dengan fasih apa-apa yang dituturkan Rasulullah, bahkan termasuk hadits-hadits fi’liyah dan amaliyah dalam jejak-langkah perjalanan hidup Rasulullah Saw.
Kecerdasan Orang Bertakwa, Pelajaran dari Hasan Al-Bashri
Belum lagi, Hasan Bashri, dulunya anak seorang budak yang mengabdi di rumah istri Rasulullah, Ummu Salamah. Kerapkali ia menangis dan minta disusui, hingga sang majikan Ummu Salamah, kadang turut-serta menyusuinya.
Lalu, kita mengenal sosok Hasan Bashri, berkat susuan istri Rasulullah, kelak tumbuh dewasa menjadi ahli ilmu dan sufi generasi pertama yang amat masyhur.
Sentuhan guru (mursyid) dan barakahnya yang agung itu, kemudian kita mengenal para pakar dan ahli ilmu di bidangnya, terlebih mereka yang menguasai seluk-beluk khazanah sirah dan sejarah hidup para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, dan terus merambah di kalangan para ulama yang kita kenal sekarang ini.
Di antaranya Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, Muadz bin Jabal, Ibnu Hajar Asqalani, Ibnu Hisyam, hingga Jalaluddin as-Syuyuti dan banyak lagi nama-nama besar lainnya.
Kualitas dan maqam ketakwaan mereka, telah memancarkan ilmu-ilmu dan hikmah dengan proses dan cara yang Allah kehendaki. Semakin seseorang bertakwa, maka akan semakin diluaskan petunjuk dan hidayah-Nya. “Mereka yang telah dianugerahi petunjuk, maka akan terus dilapangkan kalbunya, ditambah terus hidayahnya, serta makin ditanamkan ketakwaan baginya.” (Muhammad: 17).
Kecerdasan Orang Bertakwa, Akan Allah Bimbing
Oleh karena itu bertakwalah, kendalikan diri kita dari hal-hal negatif, terutama dari segala godaan dan bujuk-rayu era milenial yang meninabobokan ini. Kalau kita sudah konsisten “bertakwa” maka Allah akan senantiasa membimbing kita ke jalan yang terang-benderang.
Allah-lah Yang mengatur dan menciptakan mekanisme melalui cara-cara yang hanya diketahui oleh-Nya. Ia akan mengarahkan kita pada pemahaman, wawasan ilmu dan hikmah dari sisi-Nya.
Ia akan menuntutun kita pada pemahaman yang sepaham-pahamnya, serta menunjukkan kita kepada jalan terang yang seterang-terangnya.
Dalam surah al-Kahfi ayat 10 dinyatakan, “Rabbana atina min-ladunka rahmah wa hayyi’lana min amrina rasyada.”
Doa itu mengisyaratkan pentingnya pencerahan, akal sehat dan kecerdasan (rasyada) dengan memohon petunjuk dan hidayah Allah, hingga membuat manusia makin tawadlu dan rendah-hati dengan kekayaan ilmunya.
Jadi, semakin cerdas dan luasnya ilmu pengetahuan, tidak membuat seseorang makin jumawa dan angkuh, karena pada hakikatnya segala hikmah tak lepas dari petunjuk dan pertolongan Allah yang telah mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan kepada jalan cahaya (min-adzulumati ila an-nur).
BACA JUGA: Perintah dalam Al-Quran untuk Tolong Menolong dalam Kebaikan dan Ketakwaan, Berikut 5 Ayatnya
Kecerdasan Orang Bertakwa, Jika Allah Sudah Bukakan
Untuk itu, apalah yang perlu dirisaukan dari segala sesuatu yang terbilang “sulit” dan “rumit” jika Allah sudah membukakan ilmu dan hikmah ke dalam otak dan pikiran Anda. Jika Allah berkehendak memberikan pengajaran-Nya, sebagai buah dari barakah dan ketakwaan Anda, maka tak ada kesulitan sedikit pun untuk ditemukan solusi dan penyelesaiannya.
Segalanya akan ditunjukkan jalannya, serta dituntaskan semudah-mudahnya. Betatapun sulit dan tumpulnya memori dan daya ingat Anda, jika Allah berkehandak untuk mencerdaskan, maka cerdaslah Anda. Alfatihah…. []