Oleh: Muhmmad Daud Farma
MURDAN adalah orang yang bijak, berilmu, berakhlak dan taat beribadah. Soal ilmu agama ia adalah andalan di kampung Ahlam. Orang-orang sangat hormat sekali dengannya. Saat ia datang ke kedai kopi, ke pasar, dan jumpa di tengah jalan, semuanya mengucap; assalamualaikum pak, Murdan. Tutur katanya lembut, menyejukkan pendengarnya. Namun sayangnya dia memang jarang sekali bicara. Seratus karakter orang lain, dia cuma bicara dua puluh karakter saja. Lebih tepatnya ia adalah orang yang pendiam. Banyak orang bertanya, berkonsultasi, bertanya pendapat, meminta solusi, dan belajar padanya.
Darmanto adalah ketua kampung Ahlam, sudah menjabat sebagai kepala kampung selama lima belas tahunan. Di kampung Ahlam tidak istilah pakai kepala desa, namun pemilihan ketua kampung model pemilihan kepala desa. Sistim pungut suara. Kenapa Darmanto sampai menjabat selama lima belas tahun? Adalah karena kelompok Darmanto lebih kuat, pendukung dan pencintanya lebih banyak. Maka tidaklah seimbang dengan lawannya pada saat pemilihan ketua kampung yang tiga tahun sekali. Di kampung Ahlam adalah lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan, lebih banyak pemuda. Maka sudah tak heran kenapa Darmanto bisa bertahan tahta sampai lima belas tahun, karena dia memang bergabung dan bergaul dengan anak muda. Mengandalkan pemuda. Ulah dan tingkahnya pun macam anak muda. Padahal kalau ditanya hati ke hati pada bapak-bapak dan ibuk-ibuk di kampung Ahlam, mereka tidaklah begitu mencintai dan menginginkan Darmanto sebagai kepala kampung mereka. Ibuk-ibuk dan bapak-bapak lebih suka pak Murdan yang jadi kepala kampung Ahlam. Sekarang barulah orangtua di kampung Ahlam sadar kenapa lah dulu banyak-banyak bikin anak laki-laki, namun akhirnya tidak bisa diajak satu suara melalui hati nurani untuk tidak memlilh Darmanto lagi dan lagi. Begitulah Darmanto, ia pandai sekali mengambil hati anak muda kampung Ahlam hingga-hingga tak mau dengar cakap orangtua.
Darmanto adalah orang yang licik, kejam, tidak sayang pada kaum hawa, anak kecil dan yang tua. Darmanto lebih perhatian pada yang muda-muda saja. Sebab ia tahu kekuatannya ada sepenuhnya pada anak muda. Jumlah suara yang tiga puluh persen tidak memilihnya, ia sudah menduga bahwa itu adalah kaum bapak-bapak dan ibuk-ibuk.
Saingan Darmanto tiap tahun pemilihan adalah Tajudin. Kalau dibandingkan Tajudin dan Darmanto, sangat jauh dalam hal apapun, apalagi hal agama. Namun Tajudin adalah salah seorang harapan kaum orangtua. Tajudin juga seumuran dengan bapak-bapak yang lain, maka sudah barang tentu ia peduli dengan orangtua, lebih peduli pada perempuan. Sedangkan Darmanto lebih muda lima tahun darinya.
Sebelumnya adalah Tajudin yang jadi kepala kampung Ahlam. Karena dulu Tajudin juga sering nongkrong di warung kopi dan minum kopi. Karena dulu Tajudin masih muda. Hari berganti minggu, bulan, tahun dan umur Tajudin pun makin menua. Membuatnya semakin menyendiri, menyepi dan kurang hasir ke kedai kopi. Anak-anak muda tak jarang datang ke rumahnya, namun pintunya tak pernah ia buka untuk tamu. Hingga pemilihan ketua kampung berikutnya terpilihlah Darmanto.
Jumlah penduduk di kampung Ahlam tidaklah begitu banyak, dua ratus orang saja. Dan dari dua ratus itu lebih banyak anak laki-laki dan masih muda-muda.
Darmanto memanglah sahabat dari kelompok muda yang sengaja mereka calonkan, alasannya sederhana sekali; karena Darmanto sering ke kedai kopi. Mau minum kopi bareng mereka. Kalau umur, Darmanto sudah tidak layak lagi disebut muda, hanya sikapnya saja yang tak tau usia.
Sejak ia naik dan dilantik oleh tetua kampung. Dengan lantang Darmanto bicara pada masyarakatnya yang sudah berkumpul di tengah tanah lapang.
“Kedai kopi kita perbesar terasnya!Setiap mau minum kopi cukup bawa badan. Asal mau datang saja ke kedai kopi!” katanya membaca teks pidatonya dengan semangat dan keras, lalu ia mundur ke belakang dan duduk, hanya kata itu saja yang ia mau membacakannya, dan teks tersebut dilanjutkan dibaca oleh wakilnya.
“Anak perempuan tidak boleh keluar rumah, kecuali waktu pergi ke sekolah bagi yang muda, bagi ibu-ibu saat pergi ke pasar. Selebihnya jika keluar rumah di luar jam tersebut maka kami tangkap! Sepuluh persen hasil panen mesti disetor untuk biaya anak muda di kedai kopi. Sebab anak mudalah yang melestarikan kampung kita ini. Yang tua-tua tidak boleh lagi ke kedai kopi. Kedai kopi hanya untuk anak muda!” Begitu sebagian isi teks pidato Darmanto. Ada rasa menyesal tetua kampung melantiknya, namun mau tak mau harus ia lantik sebab Tajudin kalah telak.
Yang bapak-bapak merasa tertekan, petani merasa tertindas, perempuan merasa terkurung, tidak ada kebebsan keluar rumah, tidak seperti Tajudin dulu yang boleh pergi kemana saja menurut kehendak hati. Padahal kaum perempuan sangat bosan sekali di dalam rumah. Sudah tidak ada lagi nonton barenag muda, tua, wanita dan pria di tanah lapang. Kebutuhan rumah tangga makin mencekam, ada hasil panen kebanyakannya diambil. Hingga sudah lima belas tahun ini kaum tua terjajah. Kaum muda yang tak punya pikiran, banyak sudah tak punya kedua orangtua, jadi tak begitu kasihan pada kaum tua di kampung mereka. Yang punya kedua orangtua saja pun tak mau dengar cakap ayah-ibunya. Mungkin cocoknya disebut anak durhaka. Sejak Darmanto menjabat, hidup kaum muda terasa sejahtera. Mereka merasa kedai kopi adalah rumah mereka sendiri, lupa rumah pribadi yang mereka tempati. Dua puluh empat jam, siang-malam. Minum tuak, ganja, judi, jadi legal yang sebelumnya sempat disetop oleh Tajudin. Kedai kopi adalah hiburan duniawi anakmuda kampung Ahlam.
***
Sudah cukup tersiksa rasanya lima belas tahun di bawah kekuasaan rezim Darmanto. Kaum perempuan, kaum tua, sudah tak betah, sudah lama mereka menginginkan Darmanto turun jabatan dan dibuang dari kampung Ahlam. Namun mereka tak tahu bagaimana cara menjatuhkannya? Padahal titik poinnya hanyalah kedai kopi. Tetapi bagaimana? Sedangkan yang tua tak lagi diperbolehkan ke kedai kopi. Kalau mau minum kopi pun mesti minta diantar dari kedai kopi atau harus punya stok bubuk kopi di rumah. Apalagi Murdan yang hanya tahu agama, tak mengerti politik ala kedai kopi di kampungnya sendiri. Tapi anehnya anak muda sangat hormat padanya sejak masa Tajudin dulu menjabat. Kalau Murdan mau saja ke kedai kopi, pasti cakapnya didengar. Soal umur dia memang sudah tua tapi belum begitu tua, kalau disebut muda juga sudah tak muda. Kenapa ia masih boleh ke kedai kopi? Sebab Murdan belum pernah menikah, sehingga ia masih dianggap anak muda. Bisa dibilang dia adalah ketua jomblo di kampung Ahlam. Namun karena terbawa umur, prilakunya sudah sesuai menurut umurnya. Murdan adalah kebalikan dari Darmanto.
Kumpul lah tetua kampung yang bapak-bapak dan kaum perempuan di salah satu rumah tetua kampung. Sedangkan kaum muda tengah berkumpul di kedai kopi bersama Darmanto.
“Yang pertama adalah, kalau seandainya kita turunkan paksa si Darmanto, kita tak mampu karena jumlah kita tak sebanyak kaum muda. Lalu kalaulah ia turun jabatan, siapa yang akan kita jadikan gantinya? Tidak mungkin Tajudin lagi, kalu Tajudin kaum muda kita tidak akan memilihnya. Itu yang pertama dan kedua.. Adapun yang ketiga; kalau sudah ada penggantinya lantas bagaimanakah cara merekrut suara terbanyak untuk kita?” Begitu orang yang dulu melantik Darmanto mengajukan pertanyaan. Semuanya diam. Si Murdan yang katanya orang berilmu, berakhlak, bijak dan cerdas itu, ia tak hadir sebab dia tidak diundang. Kenapa tidak diundang? Karena dia masih dianggap kaum muda, lagi-lagi karena dia belum menikah.
Suasana hening, tak ada yang dapat memberi solusi. Suara taik cicak jatuh ke lantai pun mungkin terdengar. Tiba-tiba saja dari pojok, Seorang nenek angkat tangan. Lalu pemimpin musyawarah, mempersilakannya untuk mengungkap keluh-kesah dan idenya.
“Kalaulah diperkenankan bicara sebentar saja,”
“Silakan.” kata pemimpin musyawarah.
“Darmanto itu adalah anaknya Si Raumah temanku dulu. Waktu ibunya masih hidup, dia anak yang baik. Sejak ibunya meninggal dia jadi tidak terurus kecuali masalah kopi. Aku kenal sekali dengan Darmanto. Dulu waktu ibunya masih hidup, aku sering ke rumahnya. Tiap kali aku ke sana, pasti Darmanto minta dibawakan bubuk kopi hasil buatanku sendiri. Hingga sampai hari ini pun anak buah Darmanto selalu datang ke rumah dan mengmbil bubuk kopi buatan saya,”
“Lalu apakah maksud dan tujuan penjabaran Anda dengan semua ini?” Pemimpin kumpul memotong pembicaraannya. Nenek itu pun diam sejenak, setelah dua menit hening barulah dia menjawab.
“Aku pun tidaklah begitu mengerti maksud dan tujuan bicaraku. Itu aku serahkan pada Anda semua untuk memberi maksud daripada ucapanku. Demkian yang dapat saya sampaikan.” Kemudian suasana hening lagi. Setelah lima menit diam, lalu seseorang angkat tangan.
“Silakan.” Pemimpin musyawarah mempersikannya untuk bicara.
“Seperti yang telah dijabarkan Bu Masitah barusan. Bagaimana kalau bubuk kopinya Bu Masitah kita kasih racun. Sebab yang di kedai kopi juga membelinya dari Bu Masitah.”
“Setuju!” jawab yang hadir serentak dan kompak. Tetua kampung bicara.
“Racun bagaimana kah yang Anda maksud?”
“Ya racun semacam membuat sakit perut saja, agar Darmanto sakit bermi ggu dan berbulan-bulan. Nah supaya si Darmanto tidak lagi ke kedai kopi.”
“Nah ide yang bagus, jenius!,” sambut tetua kampung.
“Tapi sebaiknya si Darmanto saja yang kita beri racun. Jangan semua anak muda di kedai kopi. Kalau semuanya maka kita akan ketahuan.”
“Sepakat!” sahut hadirin menyentujui.
***
Keesokan harinya. Bu Masitah pun mulai menumbuk kopi. Begitu anak buah Darmanto datang ke rumah Bu Masitah, segera ia mengambil bubuk yang sudah disiapkan Bu Masitah dan pergi begitu saja. Darmanto tidak pernah membeli bubuk kopi buatannya. Kata Darmanto Bu Masitah tidak perlu menyerahkan sepuluh persen hasil panen kebun kopinya pada rezim Darmanto sebab bubuk kopi itulah gantinya.
Pak Murdan baru pulang dari masjid. Lalu ia mampir ke kedai kopi.
“Assalamualaikum.” sapanya pada semua anak muda di kedai kopi.
“Waalaikumsalam pak, Murdan.” jawab mereka serentak. Semua mata memandangnya. Semuanya segan melihat penampilan Murdan yang memakai peci, bawa surban di bahu kanan, pakai sarung dan baju piama. Suara musik yang tadi memekakkan telinga kini tak terdengar. Lembaran kartu poker yang bertumpukan segera mereka sembunyikan. Semua mata mereka yang sedang merah karena banyak minum tuak memandang fokus pada pak Murdan. Segaja mereka panggil pak Murdan, sebab penampilan dan ilmunya serta kewibawaannya membuat mereka segan. Di kampung Ahlam, hanya pada pak Murdan saja mereka bersikap begitu. Selebihnya tak hormat, kecuali ketika di depan Darmanto, di belakangnya sering sekali mereka mengejek kepala kampung mereka itu. Darmanto dipersilakan duduk. Yang di sudut-sudut ruangan semuanya merapat, yang baringan, tiduran, semuanya terbangun mendengar suara pak Murdan. Murdan dipersilakan duduk. Mereka mengelilingi Murdan. Sebab jarang-jarang Murdan ke kedai kopi. Kalau ia kedai kopi pasti ada omongan penting yang ingin ia sampaikan. Semuanya menunggu Murdan bicara. Tak ada yang berani pula bertanya dan memuali membuka heningnya suasana.
“Nampaknya tak ramai lagi yang ke masjid. Hari jumat pun tidak pernah lagi. Apakah kalian semua sudah mati?,” Semuanya diam. Menunduk, segan menatap wajah Murdan.
“Hati kalian memang sudah mati. Telinga kalian tuli. Allah akan segera menurunkan azab di kampung kita ini kalau masjid tidak ramai lagi, kedai kopi malah jadi-jadi. Ingat baik-baik kata-kataku ini. Kalau kalian tidak mau berjamaah ke masjid lagi, aku anggap kalian sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sudah mati. Siapkan diri jadi umpan api neraka nanti. Kalau kalian cinta pada kampung kita ini, maka ramaikanlah masjid lagi. Itu saja yang ingin saya sampaikan. Assalamualaikum, penghuni kedai kopi.”
“Waalaikumsalam pak, Murdan.” sahut semuanya. Suasana hening. Murdan melangkah pergi. Selagi mata mereka masih melihat punggung Murdan, tak ada yang berani memulai bicara. Begitu Murdan menghilang di telan tikungan, mulailah seseorang bersuara.
“Untuk menghormati pak Murdan dan agar kampung kita ini tidak kena azab, ada baiknya kita ke masjid nanti magrib.”
“Siapp!” semuanya ingin bertaubat.
“Tapi..” kata sedikit kelompok di pojokan.
“Tapi kenapa? Kalian tidak mau ke masjid? Kalian tidak cinta pada kampung kita ini? Kalian tidak sayang pada kedai kopi ini? Kalau kampung kita kena azab, maka kita juga yang rugi. Kalau kalian segan dan takut pada pak Murdan, kalau kalian benar-benar syang pada kampung ini, kalaulah kalian benar cinta pada kedai kopi ini, mari nanti magrib semuanya ke masjid.”
“Siapp!” Semuanya setuju.
Menjelang magrib, sepeuluh menit sebelum azan dikumandangkan semua anak muda kampung Ahlam ke masjid. Bapak-bapak kaum tua semuanya heran.
“Jenazah siapa yang akan kita sholatkan?” tanyanya pada temannya.
“Tidak ada yang meninggal. Aku dengar cerita dari salah seorang anak muda ini bahwa tadi waktu ashar si Murdan mampir di kedai kopi.” Barulah dia mengerti kenapa masjid ramai pada waktu magrib.
Setelah sholat magrib, semua anak muda menyalami Murdan. Mereka menunjukkan diri bahwa mereka ke masjid. Lalu mereka menetap di masjid, menunggu Murdan dan kaum tau yang lain pulang duluan.
“Luar biasa kamu, Mur! Ngomong apa kamu pada mereka sehingga bisa taubat mendadak begitu?”
“Saya hanya bilang pada mereka agar menyayangi kampung kita ini, Pak.” sahut Murdan singkat.
Setelah Murdan menghilang, dan mereka kira-kira ia sampai di rumahnya. Semuanya keluar dan singgah lagi di kedai kopi. Lebih seratus anak muda itu bersuyun-duyun lagi ke kedai kopi.
“Dari mana saja kalian?” tanya Darmanto keheranan. Tidak pernahnya ia lihat kedai kopi sepi. Hanya dia sendiri, semuanya pergi meninggalkannya waktu magrib tadi.
“Dari masjid, Pak.”
“Baguslah kalau begitu.” Kemudian suasana kembali lagi seperti semula.
***
Sebenarnya sudah lama tetua kampung ingin mencalonkan Murdan jadi pengganti Darmanto. Namun si Murdan belum menikah maka tidak boleh mencalonkan diri. Menikah adalah syarat jadi kepala kampung di kampung Ahlam.
Datanglah lima orang kaum tua ke rumah Murdan.
“Murdan, ada baiknya kamu segera menikah, Nak. Tidak baik menundanya samapi tua.”
“Saya belum menemukan orang yang cocok, Pak.” sahutnya.
Sebenarnya ada keinginan kaum tua menjodohkannya dengan anak perempuan Darmanto, namun mereka sangat kasihan pada Murdan jika berjodoh dengan anak yang bapaknya tukang judi. Lagipula Darmanto tidak akan setuju, sebab dia tau politik orang lain. Dia pasti tahu bahwa itu celah untuk menjatuhkannya dari jabatannya. Sudah diiming-imingkan dengan banyak perempuan, tapi belum menyentuh hati Murdan.
“Sebenarnya wanita bagai mana dan siapakah yang kamu mau nak, Murdan?,” Murdan tidak menjawab.
“Ayolah segera menikah. Kamu gantikan posisi Darmanto. Kasihan kampung kita ini.” Murdan diam. Kaum tua sudah pasrah. Bukan sekali dua kali mereka bertamu ke rumah Murdan, tapi hasilnya nihil. Murdan kebanyakan diam daripada bicara.
“Sebenarnya..” katanya. Kaum tua tampak senang mendengar ia berkata ‘sebeanrnya’ itu. Semuaya menunggu ia bicara.
“Kalau saya boleh jujur, aku suka dengan anak bapak.” Katanya terus terang pada salah seorang bapak-bapak yang hadir. Lima orang kaum tua heran sekaligus senang bukan buatan. Bapak yang anaknya disukai Murdan tidak menyangka dan tak pernah mengira bahwa Murdan suka pada anaknya. Sebab anaknya tidaklah masuk dalam daftar cantik di kampung Ahlam.
“Anakku si bungsu Sakinah, Murdan? Kau suka dengan anakku?” Dia senang sekali. Dia memeluk Murdan. Bukan main ia senangnya mendapat mantu orang shaleh dan berilmu.
“Kenapa kau suka dengan anakku, Murdan? Kenapa tidak bilang dari jauh hari?”
“Aku tahu anak bapak shalihah. Sebab di anatara bapak-bapak yang lain, hanya bapak yang kulihat paling rajin ke masjid. Maaf pada bapak-bapak yang hadir jangan tersinggung. Tapi memang begitulah adanya.”
“Hanya itu saja Murdan? Sesederhana itu saja alasanmu menyukai anakku?” Murdan diam, si bapak tersenyum bahagia. Dua hari kemudian menikahlah Murdan dengan Sakinah. Padahal si Wardah, kakaknya sakinahbjauh lebih cantik, tapi ia tidak memilih Wardah sebab Wardah sudah menikah. Akad nikah dilakansakan di masjid. Lalu pesta kecilan di rumah Sakinah. Semua anak muda hadir juga kepala kampung si rezim Darmanto. Mahar Murdan ialah surah arrahman, yang ia lantukankan dengan suara merdunya melalui mikropon masjid.
Kaum tua, kaum perepuan semuanya bahagia karena akhirnya Murdan menikah juga. Itu artinya misi mereka segera terlaksana.
***
Sudah seminggu ini Darmanto tidak ke kedai kopi. Anak buahnya berkali-kali menyampaikan pada anak muda yang di kedai kopi bahwa Darmanto tak dapat hadir karena sakit perut. Satu jam sekali ia ke kamar mandi. Minggu pertama Darmanto sakit, anak muda bergantian menjenguknya. Minggu kedua suasana kedai kopi mulai kacau, sebab tidak ada lagi donatur. Mau ngutang pada pemilik kedai tidak boleh. Sebab biasanya Darmanto lah yang selalu membayar minuman mereka. Karena dengan cara itulah ia membgambil hati anak muda. Minuman yang lain masih boleh ngutang, sebab yang paling mahal di kampung Ahlam adalah bubuk kopi. Sudah satu bulan Darmanto tidak pernah lagi ke kedai kopi. Kata anak buahnya nyawanya sudah tak lama lagi, badannya kurus kering, mukanya pucat, perutnya kosong, setiap kali diisi selalu saja mengajak pemilik perut itu ke kamar mandi, di dalam kamar mandi ada toilet.
***
Satu bulan satu minggu kemudian.
“Nampaknya kepala kampung kita sudah tak banyak umur. Ada baiknya kita demo agar pergantian kepala kampung segera dimajukan saja.” Salah seorang dari anak muda menyampaikan pendapatnya.
“Iya nampaknya memang sudah tak lama lagi kepala kampung kita itu. Sudah tak tertolong lagi. Ada baiknya kita segera mengusulkan ke tetua kampung agar pemilihan kepala kampung disegerakan.”
“Tapi siapa di antara kita yang kita calonkan?”
“Rajudin saja. Rajudin kan masih sepupunya pak Darmanto. Pasti Pak Darmanto setuju dan tetua kampung kita juga pasti takut padanya.”
“Kamu siap, Rajudin?” Rajudin yang sedang mengisap rokok sambil main poker di samping mereka terkejut.
“Siap utuk apa saudara?”
“Jadi kepala kampung kita.”
“Tapi aku belum menikah.”
“Ya menikhalah kau hari ini.”
“Tak mungkin, aku saja belum pernah jatuh cinta.”
“Ya jatuh cintalah har ini.” saran mereka semua pada Rajudin.
“Tidak mungkin, seba aku saja tidak sering melihat gadis kampung kita ini.”
“Liriklah sekarang.”
“Tidak mungkin, ini sudah malam. Anak perempuan dilarangb keluar rumah.” Semuanya diam.
“Okelah kalau begitu. Soal ganti urusan nanti, sekarang kita mesti demo pada tetua kampung kita agar segera dimajukan pergantian kepala kampung.”
“Setuju.”
Semuanya pergi meninggalkan kedai kopi. Tinggal pemilik kedai kopi sendiri, ditelan sepi.
Sampai di depan balai pertemuan, semuanya bersuara kompak; ganti kepala kampung! Ganti kepala kampung!
Kaum tua tersenyum melebar.
“Siapa yang ingin kalian calonkan?”
“Semua anak muda menatap teman di samping kiri-kanannya.”
“Belum punya pilihan, Pak.”
“Bagaimana kalau Murdan?” Usul tetua kampung. Semua anak muda diam lalu berbisik-bisik. Salah satu yang mereka bisikkan adalah; pak Murdan sudah menikah jadi sudah layak. Lima menit kemudian.
“Setuju!” Suara kompak anak muda. Lalu tetua kampung mengajak anak muda ke rumah Murdan, setelah menemui Murdan, kemudian semuanya ke rumah Darmanto. Anak buahnya membawa Darmanto ke depan teras rumah.
“Ganti! Ganti! Turunkan! Turunkan!” Suara anak muda dengan lantang, berani. Tidak takut pada anak buah Darmanto yang puluhan orang dan kekar-kekar itu. Sebab Darmanto sudah lunglai. Jumlah mereka lebih ramai. Tapi anehnya ia masih sanggup biacara.
“Kiranya kau masih bisa mendengar dan bicara Darmanto. Dan kau telah mendengar suara rakyat kita. Ada baiknya kau bicara sekarang. Tapi sebelum kau bicara ada baiknya aku bertanya dulu padamu. Apakah kau masih mau mencalonkan diri?”
“Masih.” sahut Darmanto.
“Takkan kami pilih!” Sanggah salah seorang dari kaum muda.
“Kalau begitu samapaikan visi-misimu.” Tetua kampung mempersilakan.
“Tunggu.” Kata tetua kampung satunya lagi.
“Ada baiknya Murdan juga menyampaikan visi-misinya.”
“Setuju!” jawab anak muda.
Sebelum Murdan naik ke teras rumah Darmanto, tetua kampung berpesan padanya; jangan kau lupakan kedai kopi ya Murdan. Murdan mengerti.
“Kalau saya terpilih,” kata Darmanto, bicara sedikit lalu diam, begitu ciri-cirinya sekarang.
“Kalau saya terpilih, kedai kopi gratis seperti biasanya. Cukup bawa badan. Dan kita buka cabang baru di samping rumah saya. Bubuk kopi kita datangkan dari ngeri yang jauh. Yang belum pernah kalian rasakan. Hanya orang kaya saja yang minum kopi itu.” Sebagian anak muda tergiur dengan khayalan yang dijanjikan Darmanto. Lalu giliran Murdan.
“Kalau saya yang terpilh. Semua anak muda wajib ke masjid. Nanti setelah shalat dapat minum kopi di teras masjid. Kita sediakan tong yang besar dan boleh minum sepuasnya. Itu saja!”
***
Esok harinya voting suara untuk kampung Ahlam pun dilaksanakan. Dan langsung dihitung di depan umum. Semuanya menyaksikan, mualai muda sampai tua, pria dan wanita.
“Dan pemenangnya adalah; Murdan!”
“Alhamdulillah.” Ucap syukur ibuk-ibuk, bapak-bapak, gadis, gadis, kakek-nenek dan seluruh anak muda. Murdan menang telak. Yang memilih Darmanto hanya lima persen. Anak dan istrinya, sepupunya dan anak buahnya yang bertugas di rumahnya. Seketika Murdan dilantik dan diserahakn teks pidattnya yang sudah ia tulis dengan pensil.
“Mulai sekarang anak perempuan boleh keluar rumah kapanpun ia mau. Tapi mesti didampingi mahromnya. Tidak boleh sendirian dan ingat, harus pakai jilbab. Sekali lagi harus pakai jilbab. Hasil panen tidak dipotong sepeserpun, tapi wajib bayar zakat. Minuman tuak dan judi dilarang keras! Haram! Itu kedai kopi bukan kedai judi. Maka semestinya hanya minum kopi.” Semua anak muda terdiam, tercengang, dan geram mendengar pidato Murdan. Tapi mereka segan pada Murdan. Tidak mereka tunjukkan. Anak muda tidak menyangka Murdan akan membuat undang-undang seperti itu. Soal kedai kopi hanya boleh digunakan untuk minum kopi mereka sangat tidak suka dan tidak setuju. Ada rasa menyesel mereka memilih Murdan. Tapi terlambat, kini mereka mesti nurut dengan Murdan selaku kepala kampung Ahlam yang baru. Anak buah Darmanto yang kekar, sekarang mengelilingi dan menjaga rumah Murdan.
***
Minggu pertama, semuanya ke masjid. Sebab memang diwajibkan Murdan. Banyak yang ikhlas, tapi kebanyakan anak muda tidak ikhlas. Hati mereka sudah lama mati. Gampang diarayu setan. Gampang digoyang dan ditumbangkan setan. Suasana kampung yang sudah seperti kampung mati selama lima belas tahun ini, sekarang kembali hidup seperti kota. Suara ngaji dari masjid sering terdengar. Anak muda yang dulu nongkrong di kedai kopi mulai belajar ngaji pada Murdan yang sering iktikaf di masjid. Tapi kedai kopi lebih ramai lagi. Ibu-ibu senyum senang gembira belanja ke pasar. Nonton bareng di tengah tanah lapang digelar kembali. Wiridan tiap malam jumat aktif lagi. Tapi tampaknya setan di kedai kopi mulai terusik, merasa kepanasan seakan dibakar api.
“Ah, muak aku lama-lama pada Murdan.” Salah seorang berani bicara tidak sopan.
“Jaga mulutmu, nanti kau dikurung anakbuahnya!” Seseorang mengingatkan.
“Pak Murdan tak sekejan itu!” Seseorang lagi membantah.
“Aku mau ganti saja lah ketua kampung kita!” Seorang di pojokan mengusulkan.
“Nah ide yang bagsu itu!” Jawab kebanyakan.
“Ide bagus sundulmu! Kau kan tahu pak Murdan baru menjabat seminggu. Tidak mungkin kita demo lagi untuk menurunkannya! Dia tak cacat, lagipula pendukungnya sudah banyak!” Timpal beberapa anak muda. Ada yang membela.
“Masalah jumlah kebanyakan orang nampaknya kalian keliru. Mari kita hitung jumlah kita! Kita lebih banyak lima orang! Ditambah keluarga pak Darmanto maka kita lebih banyak sepuluh orang. Kalau diadakan pemilihan lagi tentu kita menang!”
“Tapi siapa yag kita calonkan? Ah aku tak yakin kita bisa!”
“Bisa kalau kita mau mengkudetanya!”
“Caranya?”
“Pertama kita mesti nikahkan dulu si Rajudin. Lalu kita datang berduyun-duyun lagi ke balai pertemuan!”
“Ah caramu sudah pasti terbaca oleh tetua kampung kita. Takkan berhasil!”
“Lalu bagaimana?”
“Aku tahu,” sesorang di pojokan sambil mengaduk kopi yang baru ia pesan angkat bicara. Semua mata memandangnya.
“Bagaimana?” Tanya semua mulut serentak padanya. Penasaran menunggu jawabannya.
“Konfigurasi kopi.”
“Caranya?” tanya semuanya makin penasaran.
“Caraku ini adalah kunamai dengan; kudeta versi kedai kopi. Aku sudah lama memikirkannya dan baru matang ketika pak Darmanto mulai sakit-sakitan,” ia berhenti sejenak dan menghirup kopinya.
“Cepatlah selesikan maksudmu, Kawan!” Yang lain tak sabaran.
“Kita kan tahu dari dulu bahwa Bu Masitah adalah pembuat bubuk kopi yang nikmat. Dari dulu semua kepala kampung kita membeli bubuk kopi dari Bu Masitah. Pak Murdan ternyata juga sudah suka minum kopi Bu Masitah. Aku akan pesan pada Bu Masitah untuk membuatkan bubuk kopi yang sangat hitam dan nikmat. Nanti kususruh Bu Masitah sampaikan pada anakbuah pak Murdan yang bertugas mengambil bubuk kopi agar mengaduk kopinya sebanyak tujuh kali. Dan akan kusampaikan pula pada anakbuahnya agar menyampikannya pada pekerja dapur pak Murdan agar mengaduknya juga dua kali. Dan aku akan bilang juga pada pekerja dapurnya. Aku akan iku sholat berjamaah , kusampaikan pada tetua kampung dan tetua kampung yang bertusgas sebagai pengaduk gelas kopi pak Murdan agar mengaduknya tujuh kali. Kenapa aku menyampaikannya begitu? Agar terulang dan teringat jadi tak mudah lupa dan hilang kata.”
“Kenapa kopi pak Murdan mesti diaduk tujuh kali sementara kopi kita saja hanya tiga kali lebih kurangnya? Kenapa mesti konfigurasi begini? Kenapa tidak langsung saja beritahu ke Pak Murdan agar mengaduk kopinya tujuh kali?” tanya salah seorang keheranan.
“Nah pertanyaan yang bagus. Kenapa kopinya Pak Murdan diaduk tujuh kali? Pertama agar pak Murdan jadi terbiasa mengaduk kopinya sebanyak tujuh kali. Kedua karena aku ingin memasukan obat ke dalam kopi pak Murdan. Obat apa itu kalian akan tahu nanti. Obat ini akan cair jika kopi itu diaduk minimal tujuh kali, lebih dari itu lebih bagus.”
“Bagaimana caramu memasukkan obatmu itu ke dalam gelas kopi pak Murdan?”
“Itu tak perlu kalian tahu. Yang perlu kalian tahu adalah; aku beri perintah tiap dua orang dari kalian berada setidaknya di shaf pertama. Lalu selesai shalat salami pak Murdan, bilang pelan padanya agar mampir di warung kopi. Dua orang berikutnya berada di shaf kedua dan seterusnya. Bilang kata yang sama pada pak Murdan agar dia mau mampir di kedai kopi ini. Lalu dua orang lagi menunggu di pintu. Dua orang di tikungan sana, dan yang lainnya berbaris dengan rapi menyambutnya di kedai kopi. Dan aku sendiri yang akan menerima kopi pesanan pak Murdan dari anakbuahnya.”
“Wah-wah, idemu bagus, rapi dan sopan. Tapi busuk!” Semuanya tertawa. Tanda mereka setuju dan gembira.
“Oh ya, obat apa yang akan kamu masukkan pada kopi pak Murdan?” Seseorang menyelidiki.
“Obat pemutus saraf ingatan. Agar saat berbicara di depan umum ia bagaikan anak TK baru mengeja membaca. Tentu tetua kampung segera mengganti kepala kampung kita sebab mereka tak mau dipimpin oleh orang gila.”
“Hahaha.” Semuanya gembira. Misi pun dilaksanakan pada hari itu juga.
***
Bu Masitah adalah seorang nenek yang sudah tua. Sudah layak sekali diapanggil nenek. Tak sopan rasanya jika dipanggil Bu Masitah. Namun karena kebiasaan di kampung Ahlam memanggilnya demikian, anak kecil yang baru bisa bicara pun memanggilnya Bu Masitah. Ingatan Bu Masitah kadang-kadang hilang. Sebab faktor usianya.
“Bu, nanti bilang pada anakbuahnya pak Murdan agar mengaduk kopinya tujuh kali.”
“Kenapa mesti tujuh kali?” tanya Bu Masitah penasaran.
“Bilang saja begitu, Bu.”
“Baiklah.” Begitu anakbuahnya pak Murdan datang segera diberikan Bu Masitah kopi tersebut. Dan Bu Masitah tak lupa menyampaikan pesan yang tadi ia terima. Tapi seingatnya bukan tujuh kali melainkan enam kali. Begitulah pesan itu sampai dari mulut ke beberapa telinga hingga ke tetua kampung yang bertugas di dalam masjid yang biasa menghidangkan kopi untuk pak Murdan. Karena suara ngaji yang merdu dan nyaring di telinga tetua kampung itu, adukan kopi enak kali untuk pak Murdan itu seingatnya empat kali saja. Sebutan enam mirip ia dengar dengan awal imbuhan empat. Hingga sampai di hadapan pak Murdan, di dalam masjid itu pak Murdan menerima kopi dan sekaligus anjuran agar mengaduk kopinya sebanyak empat kali.
“Mulai sekarang, kapan pun minum kopi, biasakanlah mengaduknya empat kali pak, Murdan.” katanya menekankan.
“Kenapa begitu?”
“Sebab bubuk kopi buatan Bu Masitah makin hitam, Pak.” Pak Murdan menurut. Tidak ada rasa curiga yang ia lihat pada wajah tua di hadapannya.
Seperti yang direncanakan. Selesai sholat semuanya menyalami pak Murdan dan menyampaikan kata yang sama agar pak Murdan mampir di kedai kopi. Tak cukup di dalam masjid, di depan pintu, di jalan dan bertubi-tubi pak Murdan menerima ajakan agar mampir di kedai kopi. Akhirnya pak Murdan nurut.
Begitu pak Murdan mendekat, semuanya berdiri dan menyalami pak Murdan. Semauanya bermuka baik, padahal hati dan pikiran mereka licik dan busuk. Begitu pak Murdan duduk, segera anak buahnya memesan sendiri kopi pak Murdan. Anakbuahnya sendiri yang menuangkan gula dan bubuknya. Begitu anakbuahnya hendak menghidangkannya pada pak Murdan, Rajudin mengulurkan tangannya agar ia saja menghidangkannya. Semua mata memperhatikannya. Tapi jarinya begitu cepat bergerak memasukkan satu butiran berwarna hitam sebesar jari kelingking pada gelas pak Murdan. Obat itu jatuh dan tertutupi dengan warna bubuk kopi yang juga hitam, tak seorangpun dapat melihatnya.
Pak Murdan mengambil sendok, semua mata membelalak memperhatikan, fokus tak berkedip, seluruh anak muda berhati busuk itu ingin menghitungnya di dalam hati.
“Satu, dua, tiga,” Mereka menghitungnya begitu kompak, tapi suara mereka tak terdengar. Namun mereka semau merasakan teman-temannya sedang menghitung. Dan tenryata…
“Empat.” Semuanya terkejut dan kaget juga heran. Kenapa pak Murdan hanya mengaduk kopinya empat kali saja?
Tentu jawabannya adalah; Allah sayang pada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Dan kedua karena konfigurasi, tentu ada kalimat yang hilang ataupun dicuri. Hingga sampai saat ini kampung Ahlam masih di bawah kepemimpinan Pak Murdan, yang ahli ibadah. []
Darrasah-Husain-Kawakib-Kairo.
Jumat pagi, 13 Juli 2018.