Oleh: Muhtadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Temanggung
paktadi73@gmail.com
SUNGGUH telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
BACA JUGA: Suara Seorang Muslimah: Poligami, Itu Bukan Masalah Saya (1)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 254)
Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.
Namun dalam perkembangan jaman sekarang banyak wanita yang tersisih karena sifat ke egoan seorang lakilaki yang dengan alasan tertentu ahirnya menduakan seorang istri,padahal dalam sebuah pernikahan yang bersifat monogami maupun poligami masih ada di dalam satu konteks pernikahan.
Persamaannya adalah keduanya ini sama – sama pernikahan. Karena masih di dalam konteks pernikahan, maka di dalam pernikahan yang dilakukan ini tidak boleh keluar dari syarat -syarat pernikahan. Syarat – syarat pernikahan yang melahirkan hikmah dalam kehidupan bisa ditemukan dalam Al-Qur’an surat Ar – Rum Ayat 21 sebagai berikut:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dari ayat tersebut bisa diambil hikmah bahwa dalam sebuah pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan. Baik dalam pernikahan monogami maupun poligami.
BACA JUGA: Jika Suami Tidak Adil dalam Poligami, Ini Peringatan Nabi
Bukan hanya untuk kebutuhan syahwat saja, atau bukan hanya igin bertemu dengan jodoh dan menyatu. Namun, tujuan terbesar dalam pernikahan adalah menjadikan dua pasangan menjadi lebih dekat dengan Allah.
Apabila dalam sebuah pernikahan monogami namun dalam pernikahan tersebut tidak menjadikannya dekat dengan Allah, kemungkinan ada yang salah dengan proses pernikahannya.
Seharusnya dengan menikah menjadikan seseorang untuk menjadi sholeh dan sholeha. Dahulu sebelum menikah mungkin agak sulit untuk bisa melaksanakan sholat berjamaah.
Namun, apabila sudah menikah maka seorang suami ataupun seorang istri tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat berjamaah. Karena, imam dan makmumnya sudah ada dikirimkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka dari itu, sejak zaman Nabi sebelumnya suami istri yang berumah tangga membangun visi dan misi untuk mendekatkan diri dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Apabila dalam sebuah pernikahan tidak mendapatkan ketenangan, tidak pernah jiwanya merasa tenang dan bahkan selalu terjadi keributan, maka ada yang salah dalam rumah tangga tersebut.
Ketika suami atau istri yang orientasi menikahnya bukan karena Allah mungkin dengan alasan karena materi, kedudukan menyebabkan cintanya ini tidak abadi
Salah satu kisah Nabi yang bisa dijadikan pelajaran dalam memaknai pernikahan adalah kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim yang telah menikahi Sayyidah Sarah pun tidak luput dari berbagai ujian dalam kehidupan.
Namun, karena kecintaan keduanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka mereka pun saling menjaga
Hukum Poligami Menurut Islam dalam Al – Qur’an
Perintah untuk poligami menurut ulama itu sekadar boleh saja. Tapi, perintah boleh ini bisa naik hukumnya menjadi sunnah, wajib dan juga haram pada kondisi tertentu.
Seperti misalnya, seorang suami yang sadar dirinya tidak bisa adil, Merasa kalau hatinya tidak bisa condong pada yang satu, maka suami tersebut bisa berdosa. Atau suami yang sadar kalau dirinya tidak bisa memberi nafkah, namun tetap memaksakan diri untuk poligami maka itu akan menjadi dosa. Karena memberikan nafkah kepada istri wajib hukumnya.
Hikmah Poligami
Kalau menikah hanya mengatasnamakan cinta tidak mungkin menikah wanita dengan status yang sudah sepuh.
Bahkan pada zaman itu, ada yang merasa malu ketika dinikahi oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam karena statusnya sudah sepuh. Namun, karena itu semua perintah Allah maka hal tersebut tetap dijalani.
• Hikmah yang bisa diambil dari pernikahan poligami pada zaman Nabi ini menunjukkan bahwa perintah tersebut dijalani bukan atas dasar syahwat. Namun, ada nilai – nilai kebaikan yang harus berkembang dalam kehidupan.
• Ada kekurangan yang perlu dihadirkan. Misalnya dalam masalah keturunan yang sudah sangat diharapkan dan dinantikan.
Dalam konteks ini misalnya ada godaan -godaan yang sifatnya bisa menghadirkan pada maksiat. Hal seperti ini juga tentunya melalui diskusi yang dilakukan terhadap pasangan.
Adapun syarat Hikmah Poligami:
• Membangun Kedekatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
• Menghadirkan Kemaslahatan – Kemaslahatan dalam kehidupan berumah tangga
Syarat – syarat tersebut juga dilengkapi dengan syarat teknis lainnya seperti keadilan. Seperti misalnya, seorang suami membeli buah mangga. Sementara dia memiliki dua orang istri.
Maka, apabila istri yang satu mendapatkan buah mangga, maka istri kedua juga perlu mendapatkan buah mangga.
BACA JUGA: Mental Wanita yang Dipoligami
Untuk bisa melakukan Poligami ini tentu tidak semudah yang dibayangkan karena akan dimintai pertangggungjawabannya.
Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada Surat An-Nisa ayat 3 : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Demikian penjelasan terkait tentang bagaimana kemuliaan kedudukan wanita dan hukum poligami dalam Islam. []