SEPANJANG sejarah Islam, salah satu aspek yang menyatukan dunia Muslim adalah khalifah. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama. Tugasnya sebagai pemimpin kekuatan politik atas negara Muslim dikombinasikan dengan penjaga ruhiyah bagi umat Islam.
Ini adalah posisi turun-temurun, pada awalnya ditempati oleh keluarga Umayyah, dan kemudian oleh Abbasiyah. Pada 1517, kekhalifahan dipegang oleh keluarga Ottoman, yang memerintah kekaisaran terbesar dan paling kuat di dunia di tahun 1500.
Selama berabad-abad lamanya, para sultan Ottoman tidak banyak menekankan peran mereka sebagai khalifah. Itu hanya sebuah gelar resmi yang digunakan hanya bila diperlukan saja, tetapi sebagian besar tidak memedulikannya.
BACA JUGA: Kisah Mengharukan Sultan Abdul Hamid 2 Didatangi Pedagang Karena Lupa Shalawat
Ketika itu, Islam memang memerintah namun banyak hal yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Barulah pada tahun 1800-an, Sultan Abdul Hamid II memutuskan untuk menghidupkan kembali kepentingan dan kekuasaan kekhalifahan.
Ia bertekad untuk membalikkan kembali kondisi kekhalifahan pada zaman Utsmani. Abdul Hamid II menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui kebangkitan Islam di seluruh dunia.
Muslim dan kesatuan Islam, berpusat pada gagasan tentang kekhalifahan yang kuat. Selama 33 tahun pemerintahannya, Abdul Hamid berhasil memberikan kekhalifahan Ottoman periode akhir Islam yang menjadi fokus utama dari kerajaannya.
Sepanjang 1800-an, pemerintah Ottoman berusaha mati-matian untuk memperlambat penurunan kekhalifahan. Dimulai dengan Mahmud II dan seluruh pemerintahan Abdül Mecid dan Abdul Aziz, upaya mereformasi kekhalifahan berada di garis depan agenda pemerintahan.
Ketika itu, Bandara Tanzimat berusaha untuk membangun kembali negara Utsmani bersama dengan kekuatan liberal dari Eropa. Islam (dan agama pada umumnya) diberi kursi paling belakang dalam kehidupan publik, ide-ide sekuler mulai memengaruhi hukum dan praktik pemerintah. Reformasi inilah yang terbukti menggerogoti kekhalifahan.
Abdul Hamid memutuskan untuk mengambil pendekatan yang berbeda secara radikal. Karena hilangnya wilayah Eropa yang terjadi sebelum dan dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya, kekhalifahan mayoritas penduduknya Muslim. Sepanjang sejarah Ottoman, orang Kristen telah menjadi bagian utama dari populasinya, bahkan pernah mencapai sekitar 80% dari keseluruhan.
Dengan sekitar ¾-nya Muslim, Abdul Hamid memutuskan untuk menekankan Islam sebagai faktor pemersatu dominan di kalangan rakyatnya. Kekaisaran Ottoman sendiri merupakan multi-budaya, di situ ada Turki, Arab, Albania, Bosnia, Kurdi, Armenia, dan banyak lainnya. Abdul Hamid berusaha untuk membuat Pan-Islamisme sebagai faktor pemersatu bagi umat Islam, baik di dalam dan di luar perbatasan kekhalifahan.
Untuk menunjukkan perannya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam di seluruh dunia, Abdul Hamid menempatkan banyak penekanan pada tempat suci Makkah dan Madinah.
BACA JUGA: Saat Sultan Abdul Hamid 2 Didatangi Pedagang karena Lupa Bershalawat pada Nabi
Pada tahun 1800, program pembangunan dimulai di kota suci, dengan rumah sakit, barak, dan prasarana yang dibangun di Hijaz untuk membantu pelaksanaan ibadah haji. Kabah itu sendiri dan Masjid al-Haram yang mengelilinginya juga direnovasi dengan sistem drainase modern yang membantu mengurangi kebanjiran.
Pada tahun 1900, Abdul Hamid memulai pembangunan lintasan kereta api Hejaz. Ia memulainya di Istanbul dan melakukan perjalanan melalui Suriah, Palestina, dan gurun Arab, berakhir di Madinah. Tujuan dari lintasan jalan kereta api ini untuk lebih mudah dalam menghubungkan tempat-tempat suci Islam.
Untuk menunjukkan penekanan pada perlindungan Makkah dan Madinah, Abdul Hamid memutuskan bahwa ukuran (lebar rel) dari Hejaz Railway harus sedikit lebih kecil daripada standar di Eropa. Alasannya adalah bahwa jika Istanbul jatuh ke imperialis Eropa, ia ingin memastikan Eropa tidak akan bisa menggunakan Hejaz Railway untuk menyerang Makkah dan Madinah.
Sepanjang sejarah Ottoman, begitu banyak hal yang dilakukan oleh kekhalifahan untuk membantu kaum Muslimin yang bahkan di luar wilayahnya. Sebut saja, di tahun 1500, angkatan laut Ottoman merupakan kekuatan kunci di Samudera Hindia, yang membantu Muslim setempat
Abdul Hamid juga kembali membangun tradisi mengirim delegasi ke kerajaan Muslim Afrika seperti Zanzibar, memberikan hadiah dan meminta mereka untuk mengakui khalifah sebagai pelindung mereka terhadap imperialisme Eropa. Delegasi serupa dikirim pada kaum Muslim yang hidup di perbatasan Rusia dan Cina.
Pada tahun 1901, Abdul Hamid mengirim salah seorang penasihatnya, Enver Pasha, bersama dengan banyak ulama Islam, ke China. Ketika mereka tiba di Shanghai, mereka disambut hangat oleh pihak berwenang China, dan terutama oleh Muslim Cina lokal, yang telah tinggal di China selama berabad-abad.
Abdul Hamid kemudian membantu mendirikan sebuah universitas Muslim di Beijing, yang disebut Peking (Beijing) Hamidiye University.
Pada akhir 1800-an, sebuah gerakan nasionalis yang kuat dibentuk kalangan Yahudi Eropa: Zionisme. Ideologi Zionis menyerukan sebuah negara Yahudi yang didirikan di tanah air kuno mereka, Palestina.
Meskipun orang Yahudi Eropa tersebar di seluruh Eropa, kekuatan finansial dan politik yang unik dari berbagai keluarga Yahudi mampu membuat Zionisme menjelma jadi kekuatan besar pada akhir 1800.
Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionis, secara pribadi menghadap Abdul Hamid II untuk meminta izin khusus menetap di Palestina. Ia membawa uang 150 juta pound emas, yang bisa membantu Ottoman membayar utang besar mereka. Tujuan Herzl jelas ingin mendirikan sebuah negara Yahudi.
BACA JUGA: Detik-detik Wafatnya Sultan Abdul Hamid II
Abdul Hamid menyadari bahwa perannya sebagai khalifah mengharuskan dia untuk melindungi kesucian dan kedaulatan tanah Muslim, sehingga ia menanggapi Herzl dengan perkataan sebagai berikut:
“Bahkan jika Anda memberi saya emas sebanyak seluruh dunia, apalagi senilai 150 juta pound emas Inggris, saya sama sekali tidak akan menerima tawaran Anda. Saya telah melayani millah Islam [negara] dan ummat Muhammad selama lebih dari tiga puluh tahun, dan tidak pernah saya menghitamkan halaman kaum muslimin, ayah dan nenek moyang saya, para sultan Ottoman dan khalifah. Jadi saya tidak akan pernah menerima permintaan Anda!”
Abdul Hamid mencegah pembelian tanah di Palestina oleh organisasi Zionis, memastikan bahwa upaya Yahudi membangun pijakannya di Palestina adalah sia-sia.
Pada akhirnya, kaum Zionis diizinkan untuk membeli tanah dan menetap di Palestina setelah pemerintahan Abdul Hamid II, ketika gerakan Turki Muda bertanggung jawab atas Kekaisaran Ottoman.
Abdul Hamid II adalah sultan terakhir Ottoman yang punya kekuasaan nyata. Dia digulingkan pada tahun 1909 oleh kelompok yang dikenal sebagai Turki Muda. Mereka adalah kaum sekuler liberal berpendidikan Barat yang dengan tegas tidak setuju dengan arah Islam yang diterapkan oleh Abdul Hamid dari 1876-1909.
Setelah penggulingan, saudaranya Mehmed Reshad terpilih sebagai sultan oleh Turki Muda, tapi ia tidak memiliki kekuatan yang efektif, dan kekaisaran dijalankan oleh oligarki tiga menteri dalam pemerintahan Turki Muda.
BACA JUGA: Kisah Sultan Hamid II, Kecintaannya pada Sholawat Mengalahkan Harta
Tiga orang menjabat sebagai khalifah setelah Abdul Hamid II: Mehmed V, VI Mehmed, dan Abdül Mecid II, tidak ada satupun yang memiliki kekuatan.
Pada tahun 1924, kekhalifahan dihapuskan oleh parlemen Turki baru dan Abdül Mecid dan seluruh keluarga Ottoman dipaksa ke pengasingan. Dengan demikian, Abdul Hamid II adalah yang terakhir dari para khalifah yang memiliki kekuasaan atas dunia Muslim.
Abdul Hamid II meninggal di Istanbul pada tahun 1918, dan dimakamkan dimakamkan bersama dengan Sultan Mahmud II dan Abdul Aziz dekat Pemakaman Sultanahmet. []
SUMBER: LOST ISLAMIC HISTORY