SUATU hari di Afghanistan, para mujahid berkumpul berlatih untuk meningkatkan kemampuan perang guna menghadapi kekuatan militer Komunis Soviet.
“Larilah mengelilingi lapangan ini,” interupsi sang komandan, “Semaksimal mungkin!”
Berderap serombongan lelaki mengayun langkah cepat-cepat, sungguh-sungguh dan penuh semangat. Setelah beberapa putaran, satu demi satu berhenti dan beristirahat.
Ya, beberapa orang butuh istirahat karena napas telah tersenggal-senggal, tubuh sudah lemas, dan tenaga sudah terkuras. Mereka berlari semaksimal mungkin sebagaimana interupsi sang komandan.
Tapi seorang lelaki belum berhenti. Desangan sisa-sisa tenaganya ia terus berlari memutari lapangan luas itu. Karenanya, ia pun menjadi perhatian banyak orang.
BACA JUGA: Kisah Kehidupan Pejuang Palestina
Nampaknya kali ini ia akan berhenti, ia akan rehat di putaran terakhir ini. Eh ternyata tidak, lelaki itu melanjutkan larinya yang kian sempoyongan.
Dugaan mereka selalu meleset ketika mengiranya akan berhenti, karena lagi-lagi lelaki itu melanjutkan larinya. Sekuat tenaga, semaksimal mungkin. Berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya, Gubrak! Lelaki itu pingsan.
Setelah sadar sang komandan menatapnya, “Kenapa engkau tidak istirahat setelah engkau merasa capek?”
“Komandan memerintahkan semaksimal mungkin, maka inilah semaksimal mungkin menurut saya.”
Tahukah engkau siapa lelaki istimewa ini? Ialah Syaikh Abdullah Azzam ra, seorang mujahid yang oleh TIMES Mass Media dijuluki sebagai Reviver Jihad Abad 20. Sang pembangkit ghirah (semangat) juang yang menggetarkan kekuatan militer Komunis Uni Soviet, Yahudi dan semua musuh-musuh Allah di muka bumi ini. Tak heran bila tokoh sekualitas Syaikh Abdurrasul Sayyaf, Syaikh Burhanuddin Rabbani dan banyak lagi yang mengikuti jejak langkahnya di medan jihad.
“Saya baru merasa hidup selama sembilan tahun,” tuturnya suatu hari, ”Yang satu setengah tahun adalah jihad di Palestina, yang tujuh setengah tahun adalah jihad di Afghanistan. Di luar itu, benar-benar tidak bernilai.”
Masyaallah. Doktor syariah lulusan Universitas Al-Azhar ini, merasa hidupnya belum berarti apa-apa meskipun sudah memiliki bermacam aktivitas, dosen di beberapa universitas Islam terkemuka, penulis terkemuka, mubaligh terpandang, dan tokoh yang dihormati.
Kehidupan serba ada, fasilitas lengkap, kehormatan sebagai dosen, kedudukan sebagai tokoh masyarakat yang dohormati, penulis yang didambakan, dan segala kelebihan yang dimiliki dianggapnya tidak berarti. Yang dianggap paling berarti dalam hidupnya adalah jihad fisabilillah demi mengusir penjajah. Allah Kariim..
Hingga hari itu tiba, hari di mana musuh-musuh Allah tak sabar ingin membunuhnya. Hari Jumat yang mulia, dekat Masjid Sab’ullail sebuah bom berdaya ledak tinggi menghancurkan mobil yang beliau tumpangi. Tiang listrik, tiang telepon dan sekitarnya dihamburi material besi, potongan jasad yang tak lagi dikenali. Dua orang sahabatnya syahid, dua orang putranya Ibrahim dan Muhammad juga syahid, dengan jasad yang menyedihkan.
Dengan kasih sayang-Nya, Allah selamatkan jasad beliau yang mulia. Tubuhnya utuh tak terluka sedikit pun, duduk menyandar tembok dengan selarik darah dan senyum manis dibibirnya.
Ribuan pengantar jenazah menjadi saksi, tercium semerbak harum dari tubuh beliau, harum yang mereka yakini bukan karena minyak wangi dunia. Subhallah walhamdulillah wala Ilaha Ilallahu Allahu akbar.
Sang istri, Ummu Muhammad demikian tegar mendapati kabar suami dan dua putra tercintanya telah tiada, ”Ini kemuliaan dari Allah, bukan musibah.” Tuturnya.
BACA JUGA: Kisah 3 Jihad yang Hidup di Negara Barat
Mendengar kabar ini, Aminah Quthb jauh-jauh dari Mesir menulis secarik surat untuk Ummu Muhammad, ”Apa yang bisa kukatakan di hadapan wanita yang telah mempersembahkan ketiga cintanya sekaligus kepada Allah dalam waktu sehari.”
Tinta sejarah ditulis dengan dua warna. Hitam tinta para ulama dan merah darah syuhada. Syaikh Abdullah Azzam menulis dengan keduanya. Beliau bukan tipe ulama yang berfatwa sambil ongkang-ongkang kaki di kusi sambil santai minum kopi, tapi turun dan beraksi dengan sepenuh hati.
Apa maknanya?
Ah, pembaca lebih paham jawabannya. []