ANTARA keimanan dengan istighfar, Allah berfirman dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 55:
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰى وَيَسْتَغْفِرُوْا رَبَّهُمْ اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا
Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi manusia dari beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (akibatnya nanti) datangnya apa yang berlaku terhadap umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.
Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa ada sesuatu yang menghalangi mereka dari beriman dan beristighfar. Namun, penghalang tersebut tidak disebutkan. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang sesuatu yang menghalangi mereka dari beriman dan beristighfar.
Pendapat pertama: menyatakan bahwa penghalang tersebut adalah takdir Allah sehingga artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali takdir Allah”. Jadi, seberapa pun datang penjelasan yang sangat jelas kepada mereka, tetapi ketika mereka telah ditakdirkan untuk kafir, maka mereka tidak akan beriman. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi Nuh yang tercantum dalam Surah Hud (11) ayat 34:
وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِيْٓ اِنْ اَرَدْتُّ اَنْ اَنْصَحَ لَكُمْ اِنْ كَانَ اللّٰهُ يُرِيْدُ اَنْ يُّغْوِيَكُمْ ۗهُوَ رَبُّكُمْ ۗوَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَۗ
Dan tidaklah bermanfaat kepada kalian nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kalian, sekiranya Allah hendak menyesatkan kalian, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
BACA JUGA: Taubat dan Istighfar
Begitu juga firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 6:
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Artinya, mereka ditakdirkan untuk tidak beriman sehingga sebesar apa pun petunjuk yang datang kepada mereka maka mereka tetap tidak akan beriman kepada Allah. Pendapat pertama ini mengingatkan kita kepada takdir bahwasanya kita harus beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Allah menakdirkan adanya iblis dan juga menakdirkannya untuk masuk neraka Jahanam dan itu semua urusan Allah dan ini rahasia Allah.
Pendapat kedua: menyatakan bahwa penghalang tersebut adalah perbuatan mereka yang suka istihza atau mengejek para nabi dengan mengatakan nabi adalah orang gila, sinting, dan yang lainnya. Dengan demikian, artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali perbuatan mereka yang suka mengejek”.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah Adz-Dzariyat (51) ayat 52-53:
كَذٰلِكَ مَآ اَتَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا قَالُوْا سَاحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ (52) اَتَوَاصَوْا بِهٖۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَۚ (53)
Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila”. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Inilah kebiasaan mereka yang suka mengejek para nabi dan para rasul, mulai dari Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad ﷺ semuanya dikatakan tukang sihir atau orang gila. Sampai-sampai Allah mengatakan “Apakah mereka saling berwasiat” dari zaman nenek moyang mereka, yaitu dari zaman Nabi Nuh hingga zaman Nabi Muhammad, sehingga kok bisa sama bahan cercaannya yaitu menuduh gila para nabi. Inilah yang membuat mereka tertimpa azab.
Pendapat ketiga: menyatakan bahwa penghalang tersebut adalah perbuatan mereka yang sering menantang. Dengan demikian artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali perbuatan mereka yang sering menantang”. Mereka sering menantang para nabi agar didatangkan azab kepada mereka sehingga akhirnya Allah benar-benar menurunkan azab kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Anfal (8) ayat 32:
وَاِذْ قَالُوا اللّٰهُمَّ اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika betul (Al-Quran) ini dialah yang benar dari sisi engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.
BACA JUGA: Qarun dalam Al-Quran
Begitu juga firman Allah tentang umat terdahulu kepada para Rasul mereka, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Ahqaf (34) ayat 22, Surah Al-A’raf (6) ayat 70, Surah Al-A’raf (6) ayat 77, dan Surah Hud (11) ayat 32:
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ
… Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami Jika kamu termasuk orang-orang yang benar.
Umat-umat terdahulu sering menantang nabi-nabi mereka agar diturunkan azab, yang akhirnya Allah menurunkan azab kepada mereka.
Inilah tiga pendapat yang menyebutkan sebab penghalang mereka dari beriman dan beristighfar, padahal sudah jelas datang kebenaran.
Kemudian firman-Nya:
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰى وَيَسْتَغْفِرُوْا رَبَّهُمْ
Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi manusia dari beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya…
Dalam ayat ini, Allah menggandengkan iman dan istighfar. Maka, seseorang yang ingin imannya sempurna hendaknya ia menggabungkan antara keimanan dan istighfar. Seseorang yang merasa tidak bersalah maka hakikatnya dia tidak jeli dalam melihat kesalahannya. Seseorang tidak boleh merasa dirinya sempurna karena dia pasti memiliki dosa.
Terlebih di zaman sekarang ini (yang merupakan zaman penuh fitnah) maka sesaleh apa pun seseorang, atau seberapa besar usahanya dalam meninggalkan banyak macam kemaksiatan, hendaknya ia tetap menggabungkan antara iman dan istighfar. Karena, seseorang pasti berdosa dan tidak mungkin dia tidak berdosa, terlebih di zaman sekarang.
Kemudian firman-Nya:
اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ
Kecuali (akibatnya nanti) datangnya apa yang berlaku terhadap umat-umat yang dahulu.
سُنَّةُ adalah sesuatu yang telah berjalan dan سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ adalah sesuatu yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Yaitu berupa sesuatu yang telah menimpa kaum Nabi Nuh, menimpa kaum Nabi Hud, menimpa kaum Nabi Shaleh, dan menimpa kaum Nabi Musa maka itulah سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ, yaitu sunnah Allah yang berlaku pada orang-orang terdahulu jika mereka menentang para rasul.
Begitu juga, wahai orang-orang musyrikin Quraisy, kalian akan ditimpa dengan سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ. Akhirnya, mereka kaum musyrikin kalah dalam Perang Badar. Kalaupun mereka selamat di dunia maka mereka tetap akan tertimpa azab di akhirat, sebagaimana yang berlaku kepada umat-umat sebelumnya, kecuali jika mereka bertobat dan sadar sebelum datang kematian.
Kemudian firman-Nya:
اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا
Atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.
BACA JUGA: Mengapa Tidak Ada yang Bisa Mengubah Isi Al-Quran?
Terdapat dua qiraah atau bacaan untuk kata قُبُلًا:
Pertama, ada qiraah qubula dan kedua ada qiraah qibala. Kata qubula jamak dari qabiila yaitu akan datang kepada mereka azab dengan berbagai macam model. Terlebih lagi nanti di neraka Jahanam akan datang siksaan yang bukan hanya satu macam melainkan berbagai macam model siksaan.
Adapun qibala artinya siksaan yang ada di hadapan mereka. Di hadapan mereka siksaan tersebut akan terlihat nyata dan mereka tidak akan menghindarinya.
Dua tafsiran ini adalah penafsiran yang benar karena pada Hari Kiamat kelak seorang yang musyrik akan disiksa dengan berbagai macam siksaan dan mereka akan melihat siksaan tersebut di hadapan mereka datang dan menyerang mereka.[]
SUMBER: TAFSIR AT TAYSIR SURAH Al-KAHFI | PUSAT STUDI QURAN