DALAM sebuah tulisannya, RA Kartini pernah berbicara kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar pada tanggal 6 November 1899.
“Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya,” kata RA Kartini.
Saat itu RA Kartini hanya hafal Al-Quran Surah Al-Fatihah, dan ia gelisah karena tidak pernah tahu makna dari ayat-ayat itu. Akibat itu, Kartini pernah menganggap bahwa ajaran agama hanya sebatas ritual belaka tanpa ada makna yang bisa dipahami.
Kegelisahan Kartini itu membuatnya berpikir, cukuplah menjadi orang yang baik hati saja apabila tidak bisa menjadi orang sholeh.
Kala Kartini mendengar ceramah tentang tafsir surah Al-Fatihah dari seorang ‘Alim ulama, Muhammad Shalih bin Umar Darat (1820) yang dikenal dengan nama Kiai Sholeh Darat, kegelisahannya itu terobati. Kiai Sholeh Darat mengisi pengajian di kediaman paman Kartini yang menjabat sebagai Bupati Demak.
Ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya diucapkan Katini kepada Kiai Sholeh Darat. Mengingat sebelumnya Kartini tidak pernah mengetahui makna yang terkandung dalam surah Al-Fatihah.
Bagi Kartini, penjelasan Al-Quran dengan bahasa Jawa oleh Kiai Sholeh Darat itu mudah dipahami. Dan ia meminta agar Al-Quran bisa diterjemahkan, karena pembaca pun harus mengetahui artinya. Meskipun, kala Indonesia dijajah Belanda, muncul edaran secara resmi larangan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa.
Kiai Sholeh Darat tidak kekurangan akal. Agar tidak dicurigai penjajah, ia menerjemahkan Al-Quran menggunakan tulisan ‘Pegon’ atau huruf yang dipakai dalam bahasa Arab tetapi bahasa yang dituliskan adalah bahasa Jawa yang diberi nama Kitab Faidhur-Rohman.
Inilah tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Namun sayang, sebelum Kiai Sholeh Darat menyelesaikan kitab tafsirnya, ia sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Allah SWT ke pangkuan-Nya.
Dulu baik Kartini maupun Kiai Sholeh Darat memiliki harapan yang murni atas tujuan penulisan terjemahan tersebut, tidak lain agar umat Islam mudah dalam memahami ajaran agamanya. []
Sumber:Tribun Jateng (21/4/2017)