Oleh: Haikal Fadhil Anam
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ar-Rumaisha binti Milhan an-Najjariyah yang berkurn-yah (laqab/panggilan) Ummu Sulaim telah menjada setelah suaminya meninggal dunia. Ia berduka citadan bersedih hati atas hal itu. Suami yang selalu mendampinginya dan selalu memberikan nafkahnya kini telah tiada.
Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Zaid bin Sahal an-Najjari yang berkun-yah (laqab/panggilan) Abu Talhah. Ia bukannya berduka cita, tetapi justru malah bersuka cita mendengar kabar tersebut. Tidak heran, karena Ummu Sulaim merupakan perempuan idaman di zaman-nya, karena ia perempuan terhormat, berakhlak luhur, berakal pintar cerdas, dan bersifat sempurna kiralah itu gambarannya.
Abu Talhah lantas berinisiatif untuk segera melamarnya sebelum orang lain dari kalangan penduduk Madinah menyerobot dan melamarnya. Sudah barang tentu perempuan dengan sifat yang sempurna itu menjadi dambaan setiap lelaki. Abu Talhah percaya bahwa dirinyalah yang akan dipilih oleh Ummu Sulaim, dan tidak akan memilih selain dirinya.
Ia percaya seperti itu, karena ia merupakan seorang laki-laki yang memiliki segalanya dibanding yang lain. Berkedudukan terhormat dan memiliki kekayaan yang melimpah. Di samping itu pula, ia adalah seorang yang masuk dalam barisan pasukan berkuda Bani an-Najjar dan salah seorang pemanah ulung bumi Yastrib.
Tanpa pikir panjang, Abu Talhah langsung berangkat ke rumah Ummu Sulaim. Di tengah perjalanan, ia teringat bahwa Ummu Sulaim telah masuk Islam, yakni ia telah beriman kepada Muhammad dan mengikuti agamanya. Ummu Sulaim masuk Islam karena usaha dari dai Mekkah Mush’ab bin Umair.
Namun, ia tidak memikirkan lebih lanjut, karena ia berpikir bahwa suami yang telah meninggalnya pun berpegang ke ajaran nenek moyang dan menjauhi agama Nabi Muhammad.
Setelah beberapa lama di perjalanan, Abu Talhah sampai di rumah Ummu Sulaim, ia meminta izin untuk masuk ke rumahnya dan Ummu Sulaim mengizinkannya. Ketika itu, anaknya Ummu Sulaim, Annas ikut menemani. Abu Talhah langsung menyatakan maksudnya. Ia mengatakan bahwa ia ingin melamar dirinya.
Ummu Sulaim menjawab, “Wahai Abu Talhah, orang sepertimu tidaklah pantas untuk ditolak, namun, aku tidak akan menikah denganmu karena kamu laki-laki kafir”.
Dalam pikirannya ia mengira bahwa Ummu Sulaim menjawab demikian karena hanya untuk beralasan bahwa ia sesungguhnya telah memiliki laki-laki lain yang lebih banyak hartanya dan lebih terhormat dibandingnya.
Maka Abu Talhah memastikan dengan bertanya lagi kepadanya, “Demi Allah apa yang menghalangimu untuk menerima lamaranku wahai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim balik bertanya, “Apa yang menghalangimu wahai Talhah?” Abu Talhah menjawab, “Emas dan perak”. Ummu Sulaim heran, “emas dan perak?” “Benar” jawab Talhah. Ummu Sulaim lantas berkata, “Sesungguhnya aku menjadikanmu sebagai saksi wahai Abu Talhah, aku menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai saksi bahwa seandainya engkau masuk Islam maka aku akn menerimamu sebagai suamiku tanpa emas dan tanpa perak, keislamanmu cukup sebagai maharku”.
Ketika Abu Talhah menyimak kata-katanya, ia teringat pada berhalanya yang terbuat dari kayu mahal dan memperlakukannya dengan istimew seperti pembesar lainnya yang ada di daerahnya.
Ummu Sulaim berkata, “Bukankah kamu mengetahui wahai Abu Talhah bahwa Tuhan yang kau sembah selain Allah hanyalah sebilah kayu yang tumbuh dari bumi?”.
Abu Talhah menjawab, “Benar”. “Tidakkah kau merasa malu ketika kamu menyembah sebila kayu, lantas kamu menjadikannya sebagai Tuhan, sedangkan orang-orang menjadikannya kayu bakar yang dengannya menyalakan api untuk memasak roti. Sesungguhny jika kamu masuk Islam wahai Abu Talhah, maka aku akan menerimamu sebagai suamiku dan aku tidak berharap mahar selain keislamanmu” ucap Ummu Sulaim.
Abu Talhah pun menjawab, “Siapakah yang hendak akan membimbingku kepada Islam?”. “Aku bisa membantumu” ucap Ummu Sulaim. Lanjut Talhah, “Bagaimana?” Ummu Sulaim berkata, “ucapkanlah kalimatul haq, bersaksilah bahwa tidak ada illah (Tuhan) yang berhak untuk disembah selain Allah, kemudian pulanglah dan hancurkan semua berhalamu”.
Dengan raut yang berseri-seri Abu Talhah menyatakan kesaksiannya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Illah (Tuhan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah”. Kemudian Abu Talhah menikah dengan Ummu Sulaim.
Kabar pernikahan tersebut terdengar kepada yang lainnya. Kaum muslim mengatakan, “Aku tidak mendengar mahar yang lebih mulia selain daripada mahar Ummu Sulaim, ia menjadikan islam sebagai maharnya.”
Sejak hari itu, Abu Talhah bergabung di bawah panji-panji Islam, dan dia memberikan segala kemampuannya untuk mengabdi kepada Islam. Sampai meninggalnya, Abu Talhah selalu memperjuangkan Islam.
Hikmahnya, tidaklah perlu kiranya menuntut mahar yang berlebih bahkan sampai di luar kemampuan sang calon. Perlu kiranya belajar dari Ummu Sulaim yang hanya menjadikan Islam sebagai mahar.
Mahar dalam pernikahan bukanlah terletak pada besar dan kecilny tetapi pada kesungguhannya. Dalam al-Qur’an mahar disebutkan dengan kata Suduqot kata tersebut pada makna awalnya adalah kejujuran. Jadi mahar yang paling utama ketika hendak melakukan pernikahan adalah kejujuran. Wallahu’alam. []
Sumber: Basya, Abdurrahman Ra’fat. 2013. Shuwaru min Hayatish Shahabah diterjemahkan oleh Izzudin Karimi menjadi Mereka Adalah Para Sahabat. Solo: At-Tibyan.