Oleh: Mutiara Rizqi,
Dosen PTS
Bicara tentang korupsi seakan tak bisa dilepaskan dengan pejabat negara, baik kepala daerah ataupun pejabat pemerintah setingkat menteri. Pada Februari 2018 lalu, KPK dalam satu bulan menangkap empat kepala daerah karena terbukti melakukan korupsi (Kompas, 15/2). Sedangkan pada minggu terakhir bulan Agustus, KPK menjadikan Menteri Sosial, Idrus Marham sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-1.
Sebelumnya, KPK menetapkan Idrus Marham sebagai tersangka. Idrus diduga berperan dalam pemberian uang suap terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Menurut KPK, Idrus berperan mendorong agar Eni menerima uang Rp 4 miliar pada November dan Desember 2017, serta Rp 2,2 miliar pada Maret dan Juni 2018. Semua uang itu diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.
Eni Maulani Saragih sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Eni diduga menerima suap atas kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. Eni diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta yang merupakan bagian dari commitment fee 2,5 persen dari nilai proyek kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 (kompas.com).
Korupsi telah begitu membudaya di negeri ini. Mulai dari tingkat desa bahkan hingga tingkat menteri. Riset dari Edwin dan Darmawan (2011) menemukan, perilaku korupsi kepala daerah ataupun pejabat pemerintah erat hubungannya dengan biaya kampanye yang sangat besar. Besarnya faktor uang berperan dalam menentukan kemenangan dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pileg (pemilihan legislatif). Secara teoretis, korupsi yang dilakukan elit politik disebabkan oleh besarnya uang yang digelontorkan selama proses pemilihan atau proses terjun ke dunia politik.
Aloysius Benedictus Mboi (2009) mengungkapkan, berdasarkan pengalaman, kandidat yang tak didukung sumber finansial yang kuat, hampir pasti tak akan terpilih. Demikian pula, partai tanpa dukungan uang, juga sulit dapat dukungan luas di masyarakat. Lanskap politik dan budaya politik didikte oleh sosok atau partai-partai politik dengan dukungan uang terkuat ini. Korupsi yang dilakukan para pemimpin daerah tidak bisa dilepaskan dari pusaran politik uang.
Rakyat melihat kekuasaan dan politik sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri dan rakyat melihat bahwa pelayanan terhadap masyarakat merupakan beban besar. Tabiat umum dalam demokrasi adalah mendahulukan kepentingan kelompok mereka dalam urusan pelayanan terhadap rakyat. Dalam rumus kapitalis, motivasi utama hanyalah motivasi materi dan mendapatkan keuntungan materi.
Anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik, sepertinya harus dipikirkan kembali. Di tanah air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemilihan langsung yang menjadi representasi demokrasi malah semakin menyuburkan serta melegalkan politik uang dan berikutnya melanggengkan korupsi. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat dan swasta.
Korupsi yang dilakukan para pemimpin daerah tidak hanya untuk memperkaya diri, namun dengan korupsi itulah para pemimpin mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar. Kolusi pengusaha dan penguasa ini menandakan negara telah jatuh disandera para politisi dan pengusaha demi kepentingan mereka. Korupsi hanyalah satu cara untuk balik modal dan mencari keuntungannya.
Selamatkan dengan Islam
Setiap masalah pasti ditimbulkan oleh dua hal. Pertama, kesalahan pada sistem. Kesalahan pada sistem itu harus diatasi dengan menghadirkan sistem yang lebih baik. Itulah yang disebut sistem syariah. Kedua, kesalahan pada orang atau atau pada kasus ini penguasa, pemerintah. Sedangkan kesalahan pada pemerintah harus diatasi dengan menghadirkan pemerintah yang baik.
Kini telah jelas bahwa demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat, padahal Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan perbuatan tersebut.
Sesungguhnya kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya. Sudah seharusnya umat mencampakkan sistem industri politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang menjamin keberkahan hidup di dunia dan akhirat. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim Opini Anda ke email Islampos@gmail.com dengan panjang maksimal 2 halaman Ms. Office Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.