Oleh: Al Ghifari
DULU pernah ada masa dimana bahasa dan sastra begitu tinggi nilainya. Hingga dikisahkan terjadi pertikaian besar antar dua kabilah tersebab kata sindiran yang diucapkan satu pada lainnya.
Bahasa dan sastra pada masa itu sebegitu pentingnya sehingga diantara pasukan yang hendak berperang dan saling menumpahkan darah didahului dengan saling memamerkan syair-syair terbaik. Dari lisan para penyair juga api semangat para pasukan itu berkobar, mengingatkan akan visi dan motif mereka untuk berjuang hingga titik penghabisan.
Sungguh sebuah kenikmatan yang besar bagi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. saat Al Quran dijadikan sebagai mukjizat bagi nabi dan ummat akhir zaman. Diturunkan diantara kaum yang mengagungkan bahasa dan sastra pada masanya, sehingga hati yang bersih akan segera mengakui bahwa Alquran bukanlah suatu yang diada-adakan melainkan kebenaran yang tak mungkin bersumber dari lisan manusia. Para penyair hebat pada masa itu saja mengakui bahwa tak mungkin kalau Alquran itu dari lisan penyair terhebat sekalipun.
Lihatlah bagaimana ribuan bahkan ratus ribuan orang yang hafal ayatnya tanpa tahu apa arti dan maksudnya. Tentu tak dipungkiri bahwa mempelajarinya juga kewajiban. Namun menilik fakta bahwa mereka yang mampu menghafal Alquran -berbahasa arab- tak pernah ada yang menyaingi jumlahnya dengan kitab atau buku apapun menjadi bukti lain kemukjizatan Alquran.
Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? (4:82).
Jika saat ini kita bisa menangis tersebab mendegar bagus dan merdu suara qari’nya, mampukah hati bergetar saat menghayati maknanya? []