Oleh: Sayyid Quthb
DI beberapa saat, yaitu saat-saat perjuangan yang pahit yang dilakukan ummat di masa yang lalu, saya didatangi oleh gagasan yang putus asa, yang terbentang di depan mata saya dengan jelas sekali. Dalam saat-saat seperti ini saya bertanya kepada diri saya: Apa gunanya menulis? Apakah nilainya makalah-makalah yang memenuhi halaman harian-harian?
Apakah tidak lebih baik dari pada semuanya ini kalau kita mempunyai sebuah pistol dan beberapa peluru, setelah itu kita berjalan ke luar dan menyelesaikan persoalan kita dengan kepala-kepala yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas? Apa gunanya kita duduk di meja tulis, lalu mengeluar semua kemarahan kita dengan kata-kata, dan membuang-buang seluruh tenaga kita untuk sesuatu yang tidak akan sampai kepada kepala-kepala yang harus dihancurkan itu?
Saya tidak menyangkal bahwa detik-detik seperti ini amat menjadikan saya menderita. Ia memenuhi diriku dengan kegelapan dan keputusasaan. Saya merasa malu kepada diri saya sendiri, sebagaimana malunya seorang yang lemah tidak dapat berbuat sesuatu yang berguna.
Tetapi untunglah saat-saat seperti itu tidak berlangsung lama. Saya kembali mempunyai harapan dalam kekuatan kata-kata. Saya bertemu dengan beberapa orang yang membaca beberapa makalah yang saya tulis, atau saya menerima surat dari sebagian mereka. Lalu kepercayaan saya akan gunanya media seperti ini kembali lagi. Saya merasa bahwa mereka mempercayakan sesuatu kepada saya: sesuatu yang tidak begitu berbentuk yang terdapat dalam diri mereka. Tetapi mereka menunggu-nunggunya, bersiap-siap untuknya dan percaya kepadanya.
Saya merasa bahwa tulisan-tulisan para pejuang yang bebas, tidak semuanya hilang begitu saja, kerana ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus kerakyatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu, kendatipun belum mengkristal lagi dan belum jelas lagi. Tetapi ada sesuatu yang dapat diselesaikan di bawah pengaruh pena ini.
Walaupun demikian, dalam saat-saat keputusasaan dan kegelapan, saya kembali menuduh diri saya sendiri. Saya berkata: Bukankah kepercayaan akan kekuatan kata-kata ini merupakan alasan saja dari kelemahan untuk melakukan pekerjaan lain? Bukankah ini hanya merupakan manusia menertawakan dirinya sendiri, menipu diri sendiri, agar dirinya itu merasa tenteram dalam keadaan tidak berbuat apa-apa, agar ia dapat melarikan diri dan tanggungjawab kesalahan dan ketakutan?
Demikianlah saya hidup sepanjang masa perjuangan yang lalu, sampai Allah menghendaki datangnya suatu fajar yang baru, terbukanya awan yang menyelubungi, dan manusia mempunyai kesempatan untuk bernafas dengan udara yang murni yang dibawa oleh revolusi, dan bahwa perjuangan ini telah menjadi kenang-kenangan yang terkandung dalam lipatan-lipatan sejarah.
Hari ini tergerak hati saya untuk kembali kepada beberapa catatan masa lampau itu, yang mengandung sebagian dari apa yang saya tulis di masa yang menakutkan itu.
Saya tidak menyangkal bahwa saya amat terkejut. Kekuatan kata-kata itu adalah sesuatu yang aneh sekali. Mimpi-mimpi di masa lalu telah berubah menjadi kenyataan yang dapat diraba. Apa yang direka-reka dahulu telah menjadi kenyataan keseluruhannya. Seakan-akan pintu-pintu langit telah terbuka. Para pejuang yang merdeka menulis dan mengarahkan dengan segala hati mereka dengan kata-kata ini. Kalau tidak demikian siapakah yang dapat membenarkan, termasuk saya sendiri, bahwa lebih dari setahun yang lalu, saya telah menuliskan alinea-alnea berikut:
“Kali ini kita telah benar-benar mulai, kerana kita telah memulainya dengan cara yang benar. Dua orang petani telah jatuh tersungkur dilumuri darahnya yang suci, yang pertama di Kafur Najm, di inspektorat Muhammad Ali, sedangkan yang kedua di Bahout, di inspektorat al-Badrawi.”
“Darah kedua orang itu kali ini mengalir bukan kerana pembalasan dendam keluarga, dan bukan kerana kampanye pemilihan umum sebagaimana biasa terdapat dalam catatan pihak kepolisian, tetapi darah itu mengalir kerana pertarungan tanah. Tanah yang baik yang diairi oleh ribuan orang dengan keringat dan air mata, tetapi mereka tidak memperoleh apapun dari padanya. Dan akhir-akhir ini mereka telah mulai mengalirinya dengan darah. Kali ini mereka akan memperoleh hasilnya karana tetesan darah tidak pernah mengecewakan satu haripun dalam sejarah. Dan kali ini juga tidak akan mengecewakan.”
“Salah seorang dari kedua orang syahid itu telah tersungkur jatuh dalam pertempuran tanah yang ingin dirampas oleh tangan-tangan yang berdosa. Keduanya telah pasti akan diikuti oleh orang-orang lain. Tuan tanah yang gila itu tidak akan sabar melihat kalau budak-budak itu mengangkat kepalanya. Ia tidak dapat menahan bahwa budak bertindak tidak sopan dalam menghadapi tuannya. Ia tidak akan berhenti menumpahkan darah. Jadi kita telah mulai.”
“Hak-milik tanah yang baik ini telah dikembalikan kepada para pemiliknya yang sesungguhnya. Surat hak milik yang datang dari langit telah dituliskan, dan tidak akan dapat lagi dihapus untuk selama-lamanya. Ia ditulis dengan zat yang tidak dapat dihapus. Ia ditulis dengan darah. Walaupun tanah itu sendiri sampai sekarang belum dikembalikan, tetapi mulai hari ini ia dianggap sebagai tanah rampasan. Dan perampasan itu tidak akan kekal.”
“Para tuan tanah yang bodoh itu setiap hari akan menandatangani surat yang menyatakan ia telah menyerahkan haknya dari tanah yang dirampas itu. Mereka akan menandatanganinya dalam bentuk peluru kesasaran yang menembus dada orang yang syahid itu, atau dalam bentuk kampak berdosa yang membelah tubuh seorang pahlawan. Tetapi telah pasti bahwa inilah surat penyerahan tanah itu, dan surat hak milik bagi orang lain yang tidak mempunyai tanah.”
“Malam keaniayaan telah terlalu lama. Malam kita menunggu terbitnya fajar yang baru juga telah lama. Lalu inilah rupanya fajar itu telah mulai kelihatan. Sinar-sinarnya yang pertama telah mulai memancar, gemerlapan dalam titik suci dari darah yang tertumpah itu. Ia bukan merupakan tetes-tetes darah yang murah dalam setiap kampanye pemilihan umum. Ia adalah darah yang mulia dan mahal, kerana di belakangnya terdapat suatu persoalan yang berumur panjang, persoalan yang telah berabad-abad lamanya. Persoalan yang memerlukan sandaran yang tidak dapat roboh, bukti yang tidak dapat dibantah. Bukti azali ini telah dituliskan di Kafur Najm dan di Bahwat. Telah dituliskan dan selesai ditulis, dan tidak ada jalan untuk mengubahnya lagi.”
“Setiap hari akan ditulis suatu surat yang baru. Ditulis berkat semangat orang-orang bodoh yang tidak percaya kepada sumpah, yang merasa bangga dengan dosanya, yang berontak dengan membesarkan diri secara durhaka dan memeras secara keji, orang yang tidak tahan melihat kalau ada suatu kepala yang berdiri lurus, kalau ada suatu kepala yang tegak, mereka yang telah biasa melihat pemandangan orang ruku’ dan sujud dalam berpuluh-puluh abad.”
“Tetesan-tetesan darah yang mulia ini akan berubah menjadi api yang membakar, menjadi cahaya langit yang memberikan penerangan, dan dengan izin Allah nyala api itu tidak akan padam selama-lamanya, cahaya itu tidak akan padam selama-lamanya, kerana ia adalah sebagian dari cahaya Ilahi.”
“Wahai Allah, pujian dan syukur bagi-Mu: Wahai Allah, pujian dan syukur bagi-Mu. Wahai Allah, berkatilah api-Mu yang suci yang telah Engkau nyalakan, cahaya langit-Mu yang telah Engkau terbitkan. Dan kemuliaan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman.”
Saya baca kembali alinea-alinea yang telah saya tulis lebih dari setahun yang lalu. Kemudian saya bertanya sekali lagi: Kekuatan manakah selain dari kekuatan kata-kata, yang dalam waktu yang menakutkan dan gelap itu telah dapat memecah dinding keghaiban melampaui batas dan rintangan, dan tertulis dalam catatan abadi di kenyataan yang dapat disaksikan itu?
Kemudian saya bertanya sekali lagi: Apakah rahasia kekuatan kata-kata?
Rahasianya yang aneh itu bukan dalam kilatan kata-katanya, bukan dalam irama kalimat-kalimatnya. Ia tersembunyi dalam kekuatan iman yang ditunjukkan oleh kata-kata dan apa yang di belakangnya. Rahasia itu terdapat dalam tekad yang kuat untuk mengubah kata-kata yang tertulis menjadi gerakan yang hidup, mengubah pengertian yang difahami menjadi kenyataan yang dapat diraba.
Di sinilah tersembunyinya rahasia kata-kata itu, dan juga pada suatu yang lain: dalam kenyataan bahwa kata-kata itu terambil dari hati nurani rakyat, dari perasaan manusia, dan jeritan ummat manusia dan dari darah pejuang-pejuang yang bebas.
Ia bukan setiap kata-kata yang disampaikan kepada hati orang-orang lain, lalu digerakkannya hati itu, dikumpulkannya dan didorongnya. Ia adalah kata-kata yang mengucurkan darah, kerana ia adalah getaran jantung manusia yang hidup. Setiap kata-kata yang hidup menggetarkan jantung manusia. Tetapi kata-kata yang lahir di bibir, yang dilontarkan lidah, dan dengan demikian tidak sampai kepada sumber Ilahi yang hidup, adalah kata-kata yang dilahirkan mati, tidak satu jengkalpun dapat mendorong manusia ke depan. Tidak seorangpun mau mengambilnya, kerana ia telah dilahirkan mati. Orang tidak mau memungut anak-anak yang mati.
Para penulis sebenarnya bisa berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati agar fikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan daging dan darah mereka sendiri. Mereka harus mengatakan apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai tebusan dari kebenaran itu. Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang kaku, sampai kita mau mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah kita. Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup di antara orang-orang yang hidup.
Maka kepada orang-orang yang duduk di meja tulis mereka, yang bekerja keras untuk bakat mereka, memilih kata-kata yang indah, mengukir kalimat-kalimat yang berbunyi keras, menciptakan kata-kata yang penuh khayal yang gemilang, kepada orang-orang seperti ini, saya ingin memberikan nasihat: Janganlah bersusah payah seperti itu, kerana kilatan jiwa, cahaya hati, yang didapat dengan hati yang suci, api keimanan kepada gagasan, inilah satu-satunya yang menimbulkan kehidupan, kehidupan kata-kata dan kehidupan kalimat-kalimat.
Lalu kenapa?
Lalu orang yang mampu bekerja sekali janganlah berhenti bekerja, jika ia ingin melaksanakan kewajibannya dengan kata-kata. Inilah pemikiran yang saya ingin memperingatkannya, setelah saya kemukakan keyakinan saya tentang kekuatan kata-kata, dan pengaruhnya yang dapat dirasakan dalam kehidupan.
Dalam banyak keadaan, yang benar adalah apa yang dikatakan penyair:
“Berita pedang lebih benar dari berita buku. Dalam ketajamannya yang memberi batas antara yang benar dan yang main-main.”
Tetapi dalam banyak keadaan pula, tidak ada gunanya kita berbicara dan berbicara, lalu kita tidak berbuat apa-apa. Dalam keadaan ini kata-kata ini hanyalah membuang-buang potensi yang ada saja dan bukan menciptakan potensi tenaga.
Lalu ada sejumlah kecil para penulis yang jarang dijumpai yang mempunyai bakat istimewa, merekalah yang mempunyai kemampuan untuk mengubah kata-kata menjadi tenaga. Prinsip utama adalah bahwa orang harus bekerja, dan dengan bekerja itu ia dapat merealisasikan potensi yang dimilikinya menurut keinginannya.
Tetapi kata-kata itu sendiri, walaupun bagaimana ikhlas dan penuh daya ciptanya, ia tidak dapat melakukan apa-apa, sebelum ia menempatkan diri dalam suatu gerakan, sebelum ia terlambang dalam diri seorang manusia. Manusia-manusialah yang merupakan kata-kata yang hidup yang dapat melaksanakan pengertian dalam bentuk yang paling lancar.
Perbedaan pokok antara aqidah dan filsafah adalah bahwa aqidah itu adalah suatu kata-kata yang hidup yang berkarya dalam wujud seorang manusia, dan manusialah yang berusaha untuk merealisasikannya. Falsafah adalah kata-kata yang mati, yang tidak mempunyai daging dan darah, hidup dalam otak, dan tetap tinggal di sana, dingin dan tidak bergerak.
Dari sini maka aqidah itu adalah pandu, yang membimbing ummat manusia dengan petunjuknya dalam jalan kehidupan yang berbelok-belok dan panjang, naik ke puncak-puncak dan turun ke lembah-lembah. Ia mengulang-ulang petunjuknya itu pada tempat-tempat yang berbahaya, dan dengan begitu ummat manusia dapat selamat dan hidup. Ia naik dan memperkokoh dalam risalahnya, kerana ia adalah sebuah risalah yang terbit dari kedalaman hati nurani, yang menyalakan perasaan dan menjadikan indera berkelip-kelip dengan megahnya.
Aqidah harus ada. Kekuatan kata-kata adalah bahwa ia itu timbul sebagai penterjemahan dari aqidah. Aqidahlah yang memberi makan kehidupan manusia, dan dengan begitu memberikan kehidupan kepada manusia itu.
Sumber: Dirosah Islamiyah /Pengarang: Sayyid Quthb/Penerbit: Media Dakwah