BERITA tentang Muhammad calon utusan terakhir pun mulai berhembus. Hal ini membuat orang-orang kafir Quraisy tidak senang bahkan mereka menyangkal isu tersebut.
Wanita Quraisy mengatakan bahwa Muhammad tidak waras. Dampaknya, mereka menganggap Khadijah menentang agama nenek moyang, lataran ia mendukung suaminya itu sepenuh kemampuan. Kebencian itu menjadikan mereka mengucilkan Khadijah.
“Khadijah engkau pengkhianat! Kami benci pada sikapmu yang meninggalkan adat istiadat nenek moyang kita. Sejak menikah dengan Muhammad, engkau tidak mendengarkan kata-kata kami dan menghina keyakinan kita. Ingatlah, Khadijah! Kami tidak sudi lagi menolongmu dan keluargamu jika kalian dalam kesulitan. Kami tak akan pernah mendatangi rumahmu lagi!”
BACA JUGA: Siapa Lebih Utama, Khadijah atau Aisyah?
Khadijah begitu kaget, begitu bencinya para wanita itu kepadanya. Namun, Khadijah tetap sabar karena ia meyakini suaminya.
Ucapan wanita Quraisy tersebut bukan hanya sebatas basa-basi belaka. Ucapan itu mereka buktikan. Mereka menjauhi Khadijah.
Perih hati Khadijah, sahabatnya yang dulu selalu menemaninya, namun kini tak ada yang datang untuk menolongnya.
Khadijah yang saat itu tengah hamil merasakan sakit menjelang persalinannya. Air matanya menetes. Perut Khadijah semakin sakit. Keringat Khadijah bercucuran. Ia kepalkan jari jemarinya demi menahan rasa sakit. Matanya memejam untuk menahan keluarnya air mata. Namun, percuma rasa sakit itu semakin menjadi.
“Wahai Khadijah sahabatku, jangan beredih,” telinga Khadijah menangkap bisikan lembut seorang wanita.
Khadijah membuka mata perlahan-lahan. Beberapa wanita cantik dengan wajah bercahaya berdiri di hadapannya.
Mata mereka memancarkan keteduhan hingga Khadijah merasa damai saat berpandangan dengan mereka. “Ya Allah, siapakah mereka?” Ucap Khadijah dalam batinnya.
“Aku adalah Sarah istri Ibrahim,” wanita itu memperkenalkan diri.
Khadijah terpana, selama hidupnya ia hanya mendengar nama Sarah dalam cerita saja.
“Aku adalah Asiyah binti Muzahim,” kata wanita satunya lagi.
“Aku adalah Maryam binti Imran. Engkau mengenalku, bukan?” kata wanita lainnya.
“Dan aku, Syafuriya binti Syu’aib, Istri Musa,” kata wanita selanjutnya.
Wanita tersebut mengulaskan senyum penuh kedamaian seketika terhiburlah hati Khadijah. Lenyaplah kesedihannya berganti dengan keharuan.
Laksana para bidan, wanita-wanita dari surga itu menghibur Khadijah dengan cerita hidup mereka sembari menyentuh tangan, perut, punggung, dan mengurut seluruh tubuh Khadijah. Sakit yang dirasakan Khadijah berangsur hilang. Dengan sentuhan kelembutan mereka pula, lahirlah bayi perempuan dari rahim Khadijah. Bayi itu memancarkan sinar keagungan sebagaimana para bidan yang membantu ibunya.
BACA JUGA: Empat Pelajaran dari Kehidupan Istri Nabi Khadijah
Dalam keadaan lemah, Khadijah melihat para bidadari masuk ke rumahnya dengan membawa kendi-kendi air dari telaga Kautsar. Maryam lalu memandikan tubuh mungil Fatimah dengan air itu lalu membungkusnya dengan selembar kain putih yang lebih lembut dari kapas. Ia lumuri tubuh Fatimah dengan wewangian dari surga yang lebih wangi dari minyak kesturi.
Air mata Khadijah mengalir karena haru. Sungguh bahagia hatinya mendapatkan kemuliaan yang tak terduga.
Setelah semuanya beres, wanita-wanita itu berpamitan. Rumah Khadijah kembali sepi. Tinggallah Khadijah dan bayi mungilnya yang kelahirannya telah dikabarkan oleh Jibril sebelumnya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015