TENTANG kelapangan dada Nabi Muhammad, Allah SWT berfirman:
اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَۙ
“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad).”
Allah memberikan kelapangan dada pada Nabi Muhammad sehingga beliau selalu lembut, tegar, dan sabar ketika menghadapi ujian. Pada diri Nabi tertanam akhlak mulia yang sangat menakjubkan karena dada beliau telah dilapangkan oleh Allah.
Meskipun digelari dan dituduh sebagai pendusta, penyihir, penyair gila, orang yang tersihir, orang yang murtad dari adat nenek moyangnya, tetapi semua itu dapat dihadapi Nabi dengan lapang dada.
Itulah bekal utama seorang da’i ketika berdakwah. Ia selalu berhias dengan akhlak mulia dan berusaha melapangkan dadanya.
BACA JUGA: Nasab dan Keluarga Inti Nabi Muhammad ﷺ
Seorang da’i yang berkecimpung dalam “amar ma’ruf nahi mungkar” pasti akan mendapatkan pertentangan dari masyarakat. Bahkan, ia dapat saja mendapatkan cercaan atau celaan manusia. Oleh karena itulah, seorang da’i membutuhkan kelapangan dada. Jika ia tidak sanggup menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dakwahnya pun akan gugur.
Salah satu contohnya adalah Nabi Musa ketika diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahi Fir’aun yang sombong dan angkuh bahkan mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman dalam Surah Tha Ha (20) ayat 24-28:
اِذْهَبْ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰى ࣖ(24) قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙ(25) وَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ ۙ(26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ(27) يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ(28)
“Pergilah kepada Fir‘aun, dia benar-benar telah melampaui batas.” (24) Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, (25) dan mudahkanlah untukku urusanku, (26) dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (27) agar mereka mengerti perkataanku.(28)
Perhatikanlah hal yang diminta Musa a.s. setelah Allah memerintahkan beliau untuk berdakwah kepada Fir’aun. Hal pertama yang diminta Nabi Musa a.s. adalah kelapangan dada. Setelah itu, beliau baru meminta agar dimudahkan dalam mengungkapkan perkataan. Jika seseorang telah berlapang dada, semuanya pasti menjadi mudah.
Segala kesulitan akan dihadapinya dengan lapang. Namun, jika dadanya sempit, perkara yang sebenarnya mudah pun bisa jadi terasa berat. Oleh karena itulah, salah satu karunia Allah terhadap seorang Mukmin adalah Allah menjadikan dadanya lapang seperti nikmat-Nya kepada para Nabi.
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa kelapangan dada mencakup lapang dada maknawi (abstrak) dan lapang dada hissi (indriawi). Lapang dada yang maknawi misalnya kekuatan dalam menghadapi cobaan, kesabaran dalam menghadapi gangguan, kelembutan dalam menghadapi celaan, dan beberapa akhlak mulia lainnya.
Sementara itu, lapang dada yang hissi pernah dialami Nabi Muhammad ketika Allah mengirim Malaikat Jibril sebanyak dua kali, yaitu saat beliau masih kecil dan ketika beliau Isra Mi’raj. Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad ﷺ untuk mencuci bagian buruk dari jantungmya. Lalu, jantung itu dibersihkan Jibril dengan air zam-zam dan diisi dengan keimanan dan hikmah.
Oleh sebab itulah, Nabi memiliki dada yang lapang. Kedua hal ini saling berkaitan dibelahnya dada Nabi dan dicucinya jantung Nabi ﷺ oleh malaikat Jibril dari kotoran setan sehingga beliau memilki akhlak yang sangat mulia.
Nabi ﷺ adalah orang yang sangat penyabar dan tidak mudah terpancing emosinya. Segala cercaan dan celaan dihadapinya dengan lapang dada. Bahkan, beliau membalasnya dengan memaafkan. Salah satunya adalah kisah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang munafik yang selama hidupnya selalu mengganggu dan mencerca Nabi ﷺ.
Bahkan, ia menuduh istri Nabi, Aisyah, sebagai pezina sehingga tuduhan itu membuat dada Nabi sesak. Namun, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia, anak Abdullah mendatangi dan meminta Nabi menyalatkan jenazah ayahnya.
Ketika meninggal dunia, Abdullah bin Ubay bin Salul tidak memiliki apa-apa sehingga Nabi memberikan bajunya sebagai kain kafan.
Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar, beliau bersabda:
Ketika Abdullah bin Ubay (pemimpin orang-orang munafik) meninggal, anak lelakinya menemui Nabi dan berkata, “Wahai, Rasulullah, berikanlah pakaian Anda untuk mengafaninya, shalat-lah untuknya, dan mohonkanlah ampunan untuknya.”
Maka, Rasulullah memberikan pakaiannya kepada sang anak dan berkata, “Beritahu aku (apabila pemakaman telah siap) sehingga aku mungkin menyalatkan jenazahnya.”
BACA JUGA: Inilah 9 Bukti bahwa Al-Quran Adalah Ciptaan Allah, Bukan Karangan Nabi Muhammad ﷺ
Maka, ia pun memberitahu Nabi. Ketika Nabi bersiap untuk menyalatkan (jenazahnya), Umar memegang tangan Nabi dan berkata, “Bukankah Allah telah melarang Anda menyalatkan orang-orang munafik?”
Nabi bersabda. “Aku telah diberikan pilihan karena Allah berfirman, ‘Apakah kau memohon ampun bagi mereka atau tidak memohon ampin bagi mereka, dan sekalipun kau memohon 70 kali untuk ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka’ (QS. At-Taubah [9]: 80). Maka, Nabi mengerjakan shalat jenazah dan waktu itu turunlah wahyu Allah, ‘dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan seseorang pun di antara mereka (orang-orang munafik) yang mati.’ (QS. At-Taubah [9]: 84).
Abdullah bin Ubay bin Salul selalu mengganggu dan menyakiti Nabi Ketika masih hidup. Namun, Nabi menginginkan Allah mengampuni dia hingga turunlah ayat yang melarang Nabi untuk memintakan ampun bagi seorang munafik. Hal ini menunjukkan kelapangan dada seorang Nabi. []
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN