SURGA dan Neraka diyakini umat Islam sebagai tempat kembali ketika seseorang sudah meninggal. Surga adalah sebaik-baiknya tempat, sedangkan Neraka adalah kebalikannya. Jika untuk menggapai Surga seseorang harus beramal baik sebanyak-banyaknya, maka Neraka adalah tempat bagi orang yang teramat banyak melakukan dosa.
Dalam pemahaman umat Islam, dosa dibagi menjadi dua jenis. Yakni dosa kecil dan dosa besar. Dalil-dalil dari Al Quran dan As Sunnah menunjukkan bahwa dosa terbagi menjadi dosa besar (al-kab`air) dan dosa kecil (ash-shagha`ir). Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” (QS. An-Nisa`: 31).
Pada hakikatnya, semua umat Muslim sepakat bahwa Surga merupakan tempat atau tujuan terbaik ketika ruh sudah meninggalkan jasad. Namun dalam perjalanan hidup, juga akibat kurangnya pemahaman, umat Muslim sering melakukan dosa-dosa besar yang kelak menjerumuskannya ke dalam Neraka.
BACA JUGA: Bahaya Riya, Bisa Jadi Dosa Syirik!
Namun harus juga dipahami bahwa jangan sekali-kali melupakan dosa kecil. Dosa seperti ini pun bisa menjadi dosa besar jika dianggap remeh.
Fatwa Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’i mengatakan, “Dosa kecil bisa menjadi besar, jika seorang hamba menganggapnya kecil dan meremehkannya.”
Pada pembahasan kali ini, penulis akan lebih menekankan tentang bahayanya dosa besar bagi kehidupan. Dan bagaimana cara mendeteksi tingkatan dosa tersebut.
Salah satu ciri dosa besar atau perbuatan yang membinasakan adalah yang telah disebutkan secara tegas oleh Allah dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka ini adalah dosa besar. Juga yang disepakati oleh para ulama sebagai dosa besar. Al-Qurthubi mengatakan: “Dosa besar adalah dosa yang dimutlakkan oleh nash Al-Qur`an dan As-Sunnah atau ijma’ sebagai dosa besar” (Fathul Baari, 15/709).
Maka setiap dosa yang disebutkan oleh Allah atau oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai dosa besar, maka itu dosa besar.
Penjelasan Syirik
Dalam kajian-kajian agama tentang tauhid—mengesakan Allah—sering disebut tentang dosa syirik. Dosa ini tidak akan diampuni oleh Allah Azza Wa Jalla jika tidak ditaubati sebelum nyawa berada dikerongkongan ketika skaratul maut.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Menurut Ustadz Dedih Mulyadi, dosa syirik adalah dosa besar. Dalam syirik, kata dia, ada hak Allah yang diambil. “Syirik merupakan dosa besar karena mengambil hak mutlak Allah SWT. Yaitu hak untuk mentauhidkannya. Artinya, hanya Allah satu-satunya yang berhak untuk disembah.”
Ustadz lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini juga mengatakan bahwa dosa syirik terbagi dua. Yakni syirik kecil dan syirik besar. Khusus untuk syirik kecil, Ustadz Dedih berpendapat bahwa ini bisa diampuni.
“Ada dua pendapat di kalangan para ulama (soal syirik kecil). Tentang syirik kecil, ada yang mengatakan tidak diampuni seperti Ibnu Taimiyah, ada juga yang mengatakan dapat diampuni sebagaimana dikatakan Ibnul Qayim.”
BACA JUGA: Berkeyakinan Sial, Termasuk Syirik?
Senada dengan Ustadz Dedih, Ustadz Mush’ab Ibrahim juga menyebut syirik adalah dosa besar. Beliau menjelaskan, syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Ta’ala dalam perkara yang termasuk dalam kategori pengkhususan yang hanya dimiliki Allah SWT.
Menurut Ustadz Mush’ab, kekhususan Allah itu dibagi menjadi tiga hal. Yakni hak khusus Rububiyyah (perbuatan yang menjadi hak Allah), Uluhiyyah (hak Allah untuk diibadahi), dan Asma` was Shifat (hak nama dan sifat terbaik Allah).
“Kekhususan Allah itu meliputi tiga hal utama. Yang pertama hal Rububiyyah, seperti mencipta, mengatur alam, menguasainya, mengabulkan doa, memberi rizki. Jadi jika ada yang meyakini bahwasanya ada makhluk yang mampu menciptakan dari tidak ada menjadi ada sebagaimana Allah SWT, berarti dia telah berbuat syirik dalam masalah Rububiyyah,” papar Mahasiswa Fakultas Syariah Lipia Jakarta ini.
Terkait kekhususan Allah dalam hak Uluhiyyah, Alumni Ponpes Islamic Centre Bin Baz Yogyakarta ini menerangkan bahwa ini sudah masuk ke dalam hak Allah dalam diibadahi. Jadi tidak boleh seseorang beribadah seperti berdoa, meminta pertolongan selain kepada Allah. Ini jelas termasuk dosa syirik.
Yang terakhir, tentang Asma` was Shifat atau hak kesempurnaan nama dan sifat Allah, Ustadz Mush’ab mencontohkan jika ada orang yang diyakini bisa melihat masa depan, mengetahui rezeki, maka dia sudah syirik dalam hal ini.
Dosa syirik
Perbuatan dosa jelas akan mendapat balasan di sisi Allah Azza Wa Jalla. Terkait dosa syirik, Ustadz Mush’ab mengatakan bahwa dosa syirik sangat berbahaya. Pelakunya bisa mati dalam kekafiran jika belum sempat bertaubat. Maka dia tidak akan pernah masuk Surga.
“Orang yang berbuat syirik akbar, kalau dia belum bertaubat, maka dia keluar dari agama Islam dan termasuk orang kafir,” jelas Ustadz Mush’ab.
Ustadz Mush’ab melanjutkan, dosa syirik juga bisa menghapuskan semua pahala dan amalan yang pernah dilakukan.
Allah Ta’ala berfirman: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am:88).
Jika orang yang tadinya rajin ibadah, kata Ustadz Mush’ab, lalu dia meminta selain kepada Allah, maka terhapuslah semua amal baiknya. Yang tersisa hanya dosa-dosanya saja.
Hubungan syirik dengan budaya
Bagi masyarakat tradisional yang masih kental akan budaya leluhur, masih sering ditemukan praktik-praktik yang dianggap kesyirikan seperti sesajen ketika ada hajatan, atau sesajen yang dihanyutkan ke laut. Sesajen ini bisa berupa hasil bumi atau kepala hewan ternak.
Menurut Ustadz Dedih, tidak semua budaya yang masih dilakukan masyarakat itu mengandung kesyirikan. Ustadz Dedih menjelaskan, jika yang dilakukan hanya mengikuti tradisi dan tidak berniat menyekutukan Allah, maka itu tidak termasuk syirik.
Ustadz Dedih menegaskan, dalam menyikapi hal ini, kita diharapkan tidak berkeras diri.
BACA JUGA: Lupakan Jimat, Jika Tahu Hukumnya adalah Syirik
“Dakwah seperti ini tidak bisa langsung secara berkeras diri menghadapi hal ini. Itu perlu proses yang lama dan tidak bisa dilakukan dengan cara langsung seperti membalikan telapak tangan untuk mengatakan itu syirik, itu tidak. Karena yang dihadapi adalah masyarakat heterogen, yang sangat memegang teguh nilai-nilai leluhur,” jelas Ustadz Dedih.
Kesyirikan di dalam keluarga
Seperti kita tahu, saat ini fenomena hijrah sedang gencar-gencarnya di kalangan anak muda. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya bermunculan kajian-kajian agama Islam dan ustadz-ustadz baru di Indones ia. Sebut saja ustadz yang cerdas seperti Ustadz Adi Hidayat, hingga ustadz yang gaul seperti Ustadz Hanan Attaki.
Namun, kajian-kajian ustadz-ustadz ini ternyata tidak menyentuh kalangan orang tua. Sehingga, bagi sebagian anak muda yang orang tuanya belum tersentuh dakwah, mereka kebingungan untuk menghadapi perilaku syirik di keluarganya.
Menyikapi hal ini, Ustadz Mush’ab menganjurkan agar setiap anak muda yang telah hijrah selalu mencoba menyampaikan tauhid dengan santun, lembut namun tegas kepada orang tua.
Ustadz Mush’ab kemudian menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang diabadikan di dalam Al-Quran surat Maryam ayat 41 sampai 47. Ketika itu Nabi Ibrahim mengajak bapaknya untuk menyembah Allah SWT dengan cara santun namun tegas.
Meski bapak Nabi Ibrahim menolak ajakan Nabi Ibrahim dengan tegas, kata Ustadz Mush’ab, Nabi Ibrahim tetap santun terhadap ayahnya dengan selalu mendoakan kebaikan kepadanya.
Ustadz Dedih pun memberikan pandangannya terkait hal ini. Menurut beliau, sudah seharusnya anak tetap santun meski tidak setuju dengan apa yang dilakukan orang tua terkait kesyirikan.
Ustadz Dedih lalu mengutip nasihat Lukman kepada anaknya yang diabadikan di dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Lukman: 15).
Dalam ayat tersebut, kata Ustadz Dedih, poin penting ketika berdakwah kepada orang tua adalah dengan cara santun dan tidak memusuhinya ketika mereka tidak ikut kepada jalan kebenaran.
BACA JUGA: Waspada, Film Horor Ajarkan Kesyirikan
Yang terpenting, tutur Ustadz Dedih, seorang anak jangan berhenti mendoakan kebaikan kepada orang tuanya.
“Selalu yakin bahwa doa yang baik, dan optimis akan senantiasa dikabulkan oleh Allah. Sebaliknya, doa yang tidak dibarengi rasa optimis kepada Allah, itu terkadang menjauhkan kita dari dikabulkannya doa kepada Allah,” imbuh Ustadz Dedih.
Solusi menghindari perbuatan-perbuatan syirik
Ujung dari permasalahan syirik adalah harus kuatnya tauhid seseorang. Ketika tauhidnya bersih, maka hal-hal berbau syirik akan menjauh dengan sendirinya.
Ustadz Mush’ab memberikan saran agar perbuatan syirik bisa dihindari. Beliau mengatakan, solusinya adalah dengan belajar tauhid. Berusaha menghilangkan kebodohan dari dalam diri.
“Solusi mengatasi kesyirikan yaitu dengan belajar, mengamalkannya, menyebarkannya dan kemudian memosisikan kita sebagai orang yang tidak menyukai segala macam bentuk perbuatan syirik.” Demikian jelas Ustadz Mush’ab. []
REDAKTUR: YUDI