Oleh : Nirwana Fitria Chandra H.
Nirwanafitria96@gmail.com
Kendari, Sulawesi Tenggara
KATA orang-orang tua kita, bahwa anak \aman sekarang (Kids jaman now) ini berbeda jauh dengan di jaman mereka dulu. Dari segi kesopanan, tingkah laku dan sebagainya sangat berbeda. Yah, tidak bisa dipungkiri bahwa itu memang benar. Generasi yang disebut juga sebagai Generasi Milenial saat ini hidup berdasarkan apa yang mereka lihat dan temui sehari-hari, dan bahkan interaksi sosial pun kebanyakan hanya lewat Gadget saja dengan sosial media sebagai sarananya.
Jika hal tersebut di atas adalah dari sudut pandang orang tua ke anak-anak, maka izinkanlah saya dengan segala kerendahan hati mengungkapkan bentuk keresahan saya sebagai “anak” yang tentu saja masih belum banyak makan asam-garam kehidupan. Keresahan tentang kondisi sekitar yang banyak terjadi dan sering membuat hati miris.
Saat masih kecil, keluarga besar adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi si anak yang memilikinya. Sebab, dalam sebuah “keluarga besar” yang terdiri dari kakek, nenek, om/paman, tante/bibi, sepupu-sepupu, ipar dll kita bisa dapatkan perhatian dan kasih sayang yang hampir sama seperti yang diberikan oleh orang tua.
BACA JUGA: Maukah Menjadi Keluarga Allah?
Tapi, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya angka usia, ditambah pesatnya kemajuan teknologi, saya pribadi merasakan perubahan drastis. Mulai dari keakraban yang tidak lagi terasa saat pertemuan langsung, hanya terasa dekat ketika berkomunikasi menggunakan gawai lewat sarana Sosial media, lebih mudah tersinggung dan tersulut konflik dan masih banyak lagi perubahan-perubahan lainnya. Hal itulah yang begitu mengiris hati saya. Konflik yang berakar dari keegoisan mampu memecah-belah kehangatan dalam sebuah ikatan kekeluargaan. Bahkan kami sebagai anak seringkali merasa ikut dilibatkan secara tidak langsung, karena pupuk kebencian ikut ditanam di hati kami.
Akhirnya, keramahan dan keakraban antara keponakan, om dan tante tak lagi terasa, begitu pun antara ipar-ipar, Antara sepupu-sepupu bahkan sesama saudara kandung pun jelas sekali tembok kebekuan itu. Mungkin, tidak semua keluarga mengalami dan merasakan hal tersebut. Apalagi keluarga yang di-tarbiyah dengan baik. Tentu saja nilai-nilai islam akan benar-benar meresap ke dalam hati sehingga mampu mencegah konflik-konflik yang akarnya keegoisan. Kalau pun ada konflik, pasti selalu bisa diselesaikan dengan jalan keluar yang sesuai tuntunan islam.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa konflik-konflik tersebut sangat jauh dari nilai keislaman yang selalu mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan rasa empati yang tinggi terhadap sesama manusia apalagi terhadap keluarga sendiri yang notabenenya masih berhubungan darah.
Q.S Maryam : 96
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).
Dalam salah satu Ayat Al-Qur’an tersebut, Allah SWT telah berjanji untuk menanamkan rasa kasih sayang kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan/kebaikan.
Lantas, jika menghargai (sebagai salah satu bentuk perbuatan baik) kepada saudara/keluarga sendiri saja enggan dilakukan. Bagaimana mungkin hati bisa menerima rasa kasih sayang itu? Tidakkah kita ingin menjadi hamba Allah yang disayangi? Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :
إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)
Saya yang masih minim ilmu ini jujur merasa miris. Ketika melihat realitas yang banyak terjadi di sekitar. Merasakan dinginnya sikap antara anggota keluarga besar, sinisnya tatapan-tatapan mereka yang merasa sudah punya kehidupan “layak” pada anggota keluarga lainnya yang mereka lihat hidupnya masih belum “layak”. Selain faktor keegoisan, nampaknya harta juga begitu mempengaruhi sikap seseorang. Padahal mereka lupa atau mungkin tidak mau membuka mata dan hati bahwa bisa saja Allah SWT menitipkan harta berlimpah kepada mereka agar mereka bisa meringankan beban saudaranya, keponakannya, iparnya dsb.
Ingin rasanya melihat kembali keakraban dalam keluarga besar layaknya dulu sebelum pesatnya teknologi mengambil peranan besar untuk mempermudah sampainya pesan atau chat kita. Teknologi ini manfaatnya banyak, tapi kalau kita tidak bisa mengelolanya dengan baik justru bisa memberi dampak negatif. Apalagi jika digunakan hanya untuk saling menyindir, membenci, menghujat, adu domba, dll. Bukankah hal tersebut justru menimbulkan konflik dan akhirnya merenggangkan keakraban?
Na’udzubillahi min dzalik.
BACA JUGA: Protect Anak dari HP, Moms
Ampuni kami ya Allah..
Karena rasa angkuh kami hingga merasa lebih baik dari saudara-saudara kami.
Karena lisan kami yang begitu tajam melukai paman, bibi, kakek, nenek, bahkan orang tua kami.
Karena dengan mudahnya menjatuhkan mental keponakan kami dengan hinaan.
Karena dengan sinisnya meremehkan saudara, sepupu hingga ipar kami.
Ampuni kami duhai Rabb..
Sebab dunia ini sudah terlalu membuai kami.
Harta sudah membutakan mata kami.
Ambisi-ambisi dunia sudah melalaikan hati kami.
Keegoisan sudah menghancurkan rasa empati kami.
Ampuni kami yang penuh dosa ini.
Semoga Engkau berkenan membuka pintu ampunan bagi kami yang seringkali dibutakan oleh kebencian dan keegoisan ini.
Semoga bulan suci Ramadhan tahun ini yang tinggal menghitung hari saja, menjadi moment untuk kami membenahi diri. Aamiin Allahumma Aammin.
Wallahu A’lam bis-showab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word