Oleh: Shodiq Maulana
TENTU pernah kita alami, ketika hati sedang gelisah, pikiran sedang kacau, lantas kita berwudhu dan melaksanakan sholat, tiba-tiba rasa gelisah itu hilang. Tetapi terkadang, pernahkah ketika kita sholat, bukannya membuat hati dan pikiran tenang justru urusan duniawi yang tadinya terlupakan langsung teringat dengan sendirinya? padahal setiap gerakan dalam sholat sudah ditentukan apa yang harus dibaca.
Lantas, kemanakah rasa yang menenangkan itu pergi?
Tentu -secara ajaib- pernah ketika kita sedang membaca Al-Quran, hati merespon dengan getaran yang indah. Getaran yang tidak diketahui apa sebabnya. Namun terkadang, getaran itu tak bisa dirasakan lagi, yang masalahnya juga tidak diketahui apa sebab hilangnya.
Kemanakah rasa itu pergi?
Kita pernah mengalaminya; ketika harta hanya ada seadanya, kemudian kita sedekahkan dengan penuh keyakinan bahwa akan ada gantinya kelak. Namun, pernahkah berat sekali rasanya untuk bisa bersedekah padahal Allah sedang lebihkan rezeki kita?
Lagi-lagi muncul masalah ini; Kemanakakah keyakinan itu?
“Sungguh, tidak akan didapati nikmatnya makanan bagi orang yang sakit”, nasihat seorang Salaf, “lantas bagaimana bisa nikmatnya beribadah dapat dirasakan oleh orang yang penuh dosa?”
Jangan-jangan, apakah ketenangan hati itu termakan oleh banyaknya dosa?
Lagi-lagi, Apakah getaran itu hilang karena menggunungnya dosa?
Atau, Apakah keyakinan pergi itu terbawa oleh hasrat dunia?
Sejatinya, kita tahu bahwa manusia tanpa dosa adalah sebuah kemustahilan. Tetapi sungguh aneh jika ia nyaman dengan dosanya. Akan lebih aneh lagi ketika seorang manusia menjadikan status manusianya sebagai alasan untuk berbuat dosa. “Bertaubat adalah hal yang wajib”, nasihat Imam Syafii, “tetapi meninggalkan dosa-dosa adalah hal yang lebih wajib.” Wallahu ‘alam. []