TAK ada orang yang bebas dari masalah. Tak terkecuali masalah ekonomi. Apalagi di masa-masa sulit akibat pandemi seperti saat ini, permasalahan ekonomi menjadi kian berat. Banyak terjadi tindak kriminal akibat tak punya pendapatan dan banyak pula pasangan suami istri yang cerai hanya karena masalah ekonomi.
Karenanya sangat penting bagi setiap orang untuk mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi. Pertanyaannya bagaimana cara agar masalah ekonomi, khususnya perekonomian keluarga bisa berjalan dengan baik?
BACA JUGA: Hidayah akan Datang pada Mereka yang Berusaha
Dikutip dari konsultasisyariah dijelaskan bahwa untuk memperbaiki kehidupan kita dalam masalah ekonomi maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada agama Dzat Yang Maha Memberi Rezeki, di mana perbendaharaan langit dan bumi menjadi milik-Nya. Di antara bentuk kembali kepada agama Allah SWT adalah:
Pertama; Seorang muslim hendaklah meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki sudah ditulis dan ditentukan oleh Allah SWT. Tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang. Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menulis takdir-takdir untuk ciptaan-Nya 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi,” (HR. Muslim, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash).
Lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi sudah ditulis takdir kita, di antaranya sudah ditulis rezekinya. Si fulan selama hidupnya akan memakan beras berapa ton, meminum air berapa ribu liter, kekayaan sekian semuanya sudah Allah tulis di lauhil Mahfudz.
Kemudian dalam hadis Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW mengatakan bahwa ketika janin dalam perut berumur 120 hari atau kurang lebih empat bulan, “Maka malaikat meniupkan ruh kepada janin tersebut, dan diperintah untuk menulis empat perkara, rezekinya, ajalnya, amalannya, dia termasuk penduduk neraka yang celaka atau penduduk surga yang bahagia,” (HR. Muslim).
Demikianlah seorang bayi sebelum lahir sudah ditulis rezekinya oleh malaikat dengan perintah dari Allah. Dan apa yang ditulis malaikat tersebut tidak menyimpang dari apa yang sudah tertuang di Al-lauhil Mahfudz.
Kemudian apa yang tertulis tersebut pasti akan terjadi. Tidak akan ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Seseorang tidak bisa merebut rezeki orang lain, dan tidak bisa direbut rezekinya. Masing-masing sudah memiliki rezeki yang sudah ditentukan.
Kedua; Mengambil sebab rezeki dengan bekerja dan berusaha. Allah yang telah menulis rezeki kita Dia pulalah yang telah memerintah manusia untuk berusaha dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Rasulullah SAW juga memberikan motivasi kepada kita untuk berusaha dan tidak bergantung kepada orang lain. Sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah, “Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik memberi atau tidak memberi,” (Muttafaqun ‘alaih).
BACA JUGA: Mengapa Kita Harus Berusaha?
Dan bukan berarti kalau kita berusaha kemudian kita tergolong orang yang tidak bertawakal kepada Allah. Bahkan ini termasuk kesempurnaan ketawakalan seorang mukmin kepada Allah.
Dari Umar bin Al-Khaththab ra beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung-burung, pergi pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang,” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany).
Dalam hadis ini Rasulullah SAW mengisyaratkan bahwa termasuk tawakal kepada Allah adalah berusaha. Karena burung-burung mereka bertawakkal kepada Allah dan keluar dari sarangnya untuk mencari makan.
Demikian pula ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku ikat unta ini kemudian bertawakal atau aku lepaskan kemudian aku bertawakal?” Maka beliau menjawab, “Ikatlah kemudian bertawakal,” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik). []