MENKO Polhukam Mahfud Md merespons Wamenkeu Suahasil Nazara soal data dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp 189 triliun. Apa kata Mahfud?
“Yang Rp 189 triliun itu nanti diselesaikan dalam proses lanjut penegakan hukum. Jadi ini tinggal metode dalam melihat,” kata Mahfud, Jumat (31/3/2023).
Mahfud, yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), menuturkan temuan angka Rp 35 triliun juga diakui Kemenkeu sama. Kesamaan itu diakui sama setelah agregatnya disatukan.
“Angka Rp 35 triliun juga diakui sama setelah agregatnya disatukan,” ujarnya.
BACA JUGA:Â Ungkap Dugaan Pencucian Uang, Mahfud Sebut Modus Tukar Koper Isi Duit dengan Kertas di Pesawat
Mahfud Sebut Ada Data Ditutup dari Bawah
Saat rapat di Komisi III DPR, Mahfud menyebut ada kekeliruan dari penjelasan Sri Mulyani tentang Rp 189 triliun. Kekeliruan itu disebut Mahfud bukanlah salah dari Sri Mulyani, tapi terkait ditutupnya akses dari bawah.
“Bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari bawah sehingga apa yang beliau jelaskan tadi itu adalah data yang diterima tanggal 14 ketika bertemu dengan Pak Ivan sehingga disebut yang terakhir itu… yang semula ketika ditanya oleh Ibu Sri Mulyani itu, ‘Ini apa kok ada uang Rp 189?’ Itu pejabat tingginya yang eselon I, oh ndak ada Bu, nggak pernah ada,” ucap Mahfud.
Mahfud mengatakan transaksi Rp 189 triliun itu terdapat dalam 1 surat dengan 15 entitas yang sebenarnya berkaitan dengan cukai impor emas batangan. Namun menurut Mahfud, hal itu diakali sebagai emas mentah.
“Baru dia oh ya nanti dicari dan itu nyangkut uang yang 189 dan itu adalah dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? Menjadi pajak padahal ini cukai laporannya, apa itu? Emas, impor emas batangan yang mahal-mahal itu tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah, diperiksa oleh PPATK. Kamu kan emasnya emas sudah jadi, kok bilang emas mentah. Ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya, dicari di Surabaya nggak ada itu pabriknya,” ucap Mahfud.
Transaksi ini lalu dilaporkan PPATK kepada Kemenkeu sebagai penyelidik tindak pidana asal di bidang kepabeanan bea cukai dan pajak tersebut. Laporan disampaikan pertama pada 2017.
“Surat yang asli semula itu dikirimkan by hand yang ditandatangani orang pajak, yang menyerahkan. Di sini kasus mengenai tadi, Rp 189 triliun. Ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sangat sensitif. Oleh sebab itu diserahkan by hand. Bertanggal 13 November 2017,” kata Mahfud.
“Ini yang menyerahkan, Bapak Badaruddin (eks Kepala PPATK), Bapak Dian Ediana (eks Wakil Kepala PPATK), kemudian Heru Pambudi dari Bea Cukai, Dirjen Bea Cukai. Lalu Sumiati Irjennya. Kemudian Rahman dari Irjen, Widiarto Bea Cukai, ini ada tandatangannya semuanya ini bahwa tahun 2017 kasus ini masuk,” imbuh Mahfud.
Mahfud menyebut tidak ada tindak lanjut mengenai itu hingga tahun 2020 PPATK mengirimkan surat baru tapi tetap belum terselesaikan. Sampai akhirnya, menurut Mahfud, dilakukan pertemuan dengan Kemenkeu. Mahfud sebelumnya menyebut dalam pertemuan itu dihadiri Menkeu Sri Mulyani dan juga pejabat eselon 1 Kemenkeu. Namun Mahfud meralat bila pertemuan itu disebutnya dihadiri Wakil Menteri Keuangan dan eselon 1 Kemenkeu yakni Irjen tapi tidak disebutkan kapan pertemuan itu.
“Nah ketika surat baru ini ditanya, kita ketemu dengan Kemenkeu. Ini yang saya ralat sedikit, di situ bilang ada Sri Mulyani lalu Irjen bilang surat itu tidak ada (surat PPATK), bukan Sri Mulyani, yang wakil (Wamenkeu). Ini saya ralat. Waktu itu ada Wamenkeu, Irjen bilang surat itu nggak ada,” kata Mahfud.
“Bahwa kasus penyelundupan emas itu, pelanggaran bea cukai itu. Ini 2017 ditutup, sehingga kami kirim lagi surat itu. Lalu dibilang tidak ada di hadapan wakil menteri. Lalu dicari ketemu, itu yang dipakai untuk menjelaskan oleh ibu Sri Mulyani,” sambung Mahfud.
Wamenkeu Bantah Mahfud
Sebelumnya, Wamenkeu Suahasil Nazara menegaskan pihaknya tidak menutup-nutupi dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 189 triliun terkait emas batangan. Nilai itu merupakan bagian dari transaksi janggal Rp 349 triliun yang sedang heboh.
Suahasil mengatakan pada Januari 2016 Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) mencegah ekspor logam mulia. Pasalnya ekspor itu dikatakan berbentuk perhiasan, padahal isinya adalah emas batangan (ingot).
“Itu disetop oleh BC. Maka kemudian didalami dan dilihat bahwa ini ada potensi tindak pidana kepabeanan,” kata Suahasil dalam media briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).
Bea cukai disebut telah menindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan terkait tindak pidana kepabeanan pada 2017-2019. Sayangnya hasil pengadilan negeri menyatakan bea cukai kalah.
“Di pengadilan negeri BC kalah, lalu BC kasasi, di kasasi BC menang. Lalu 2019 dilakukan penelitian kembali atas permintaan terlapor. Di peninjauan kembali BC kalah lagi. Jadi dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanannya di peninjauan kembali terakhir,” ucapnya.
Suahasil menjelaskan bahwa TPPU selalu berkaitan dengan tindak pidana asal (TPA). Ketika TPA tidak terbukti oleh pengadilan, maka TPPU tidak maju.
BACA JUGA:Â Beberkan Kasus di Ditjen Bea Cukai, Mahfud MD Sebut Impor Emas Batangan Ngakunya Emas Mentah
Pada 2020, DJBC melihat ada modus yang sama seperti 2016 sehingga pihaknya kembali berdiskusi dengan PPATK. Dalam berbagai macam rapat disepakati bahwa jika kasus dengan modus tersebut tidak masuk tindak pidana kepabeanan, maka dimasukkan dalam kasus pajak.
“Laporan PPATK dengan nilai total keluar masuk Rp 189 triliun diterima DJBC dan ditindaklanjuti dengan hasil tidak ditemukan indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan. Indikasi itu dinyatakan dalam satu rapat dengan PPATK Agustus 2020,” ujar Suahasil.
Berkaitan dengan hasil pemeriksaan PPATK, DJP disebut telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan pemeriksaan terhadap 3 wajib pajak (WP) badan, serta pengawasan terhadap 7 WP orang pribadi. Dari situ didapati penerimaan pajak senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar.
“Ini saya harap bisa klarifikasi Rp 189 triliun, kemarin ada yang bilang ada Rp 189 triliun, ada yang nggak disampaikan ke Menteri Keuangan, ada yang ditutup-tutupi dari Menteri Keuangan. Laporan yang saya terima dari seluruh staf kami DJP, DJBC, Inspektorat Jenderal semua ada di sistem Kemenkeu, ini kita bisa melakukan pemantauan satu per satu,” kata Suahasil.
“Tidak ada yang ditutupi. Semua ada dalam sistem Kemenkeu. Detailnya bisa kita pantau,” lanjutnya. []
SUMBER: DETIK