Selasa (6/6/2011) lampau ada pemandangan menarik di Departemen Sejarah Universitas Indonesia, Depok. Sebuah diskusi terbatas bertajuk ‘Peran AS Dalam Kemerdekaan Indonesia 1945-1949′ tengah berlangsung dengan menghadirkan Profesor Ron Spector, Guru Besar Sejarah dan Hubungan Internasional di George Washington University dengan didampingi dosen dari Prodi Kajian Wilayah Amerika UI.
Spector mengungkapkan bagaimana peran Amerika dalam Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang sepele. Meski hubungan antara Amerika dengan Belanda di pihak penjajah sangat dekat, namun sebagai pemenang perang dunia kedua, Amerika memilki perhatian kuat pada politik global di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. “Amerika concern terhadap Hak-hak kebebasan dan melawan kolonialisme,” ujarnya.
Sebagai negara baru pasca perang dunia kedua yang masih berusaha memperjuangkan kedaulatan, Indonesia tentu membutuhkan dukungan negara berpengaruh di dunia internasional. Keberpihakan dunia internasional bagi kemeredekaan, akan menjadi jalan mulus bagi Indonesia keluar dari penjajahan. Spector mengungkap salah satu negara yang memiliki posisi penting di PBB saat itu adalah Amerika. Meski di sisi lain, tindakan kolonialisme yang dilakukan Belanda kepada Hindia Belanda juga tidak lepas dari intervensi Amerika. “Namun Amerika kemudian berbalik mendukung Indonesia,” lanjut Dosen Fulbright di India, Singapura, dan Israel ini di hadapan peserta mahasiswa program Doktor Sejarah UI.
Namun yang menarik adalah data yang kemudian dikemukakan bahwa Belanda yang hancur lebur dalam PD II akhirnya menerima proposal bantuan recovery dari AS. Dengan catatan, Belanda harus angkat kaki dari Indonesia dan berniat tulus melepaskan Indonesia sebagai negara merdeka dan mengalihkannya kepada Negeri Paman Sam. Dan disinilah penjajahan baru dimulai.
Peran Amerika Serikat di balik Kemerdekaan Indonesia
Tentu argumen Spector menjadi sangat menarik. Bahwa pameo “sejarah bergantung pada siapa yang berkuasa” memang menjadi keniscayaan. Bahwa data-data dari Spector seakan membuka tabir bahwa sebenarnya tidak pernah ada “kemerdekaan sejati” di bangsa ini. Yang ada adalah pengalihan dari satu penjajah ke penjajah lainnya. Terlepas dari penghormatan kita kepada para pahlawan yang telah berjuang memperjuangkan kedaulatan bangsa ini.
Tesis Spector ternyata tidak sendiri. Jauh sebelumnya, Francis Gouda juga sudah menemukan fakta yang nyaris sama. Dalam bukunya yang berjudul “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942”, Guru Besar Sejarah Universitas Amsterdam itu memaparkan fakta bagaimana telah terjadi serangkaian lobi anak negeri guna menarik simpati Amerika demi memuluskan jalan kemerdekaan bumi pertiwi.
Salah satu tokoh yang menjadi perwakilan Indonesia ke Amerika adalah Sudarpo Sostrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase pers di New York. Dengan cerdas Sudarpo kemudian membandingkan antara revolusi kemerdekaan Indonesia dengan Amerika dengan makalahnya yang berjudul “It’s 1776 in Indonesia”. Sebuah perbandingan yang terlalu dipaksakan, namun cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776.
Pemandangan serupa juga terjadi di dalam negeri. Gouda mengatakan hampir di berbagai jalanan, tembok-tembok penuh dengan kalimat pidato tokoh kemerdekaan AS seperti Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan lain sebagainya. Mereka berharap, dengan tulisan itu dapat terbetik minat pasukan AS di Indonesia. Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada dibelakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.
Meski Gouda tidak sependapat bahwa sejak awal pemerintah Amerika Serikat dan para pembuat kebijakan luar negerinya mendukung sepenuhnya perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945—1949, namun setidaknya bukti-bukti yang ia ungkapkan menggambarkan ada satu bentuk pengharapan besar Indonesia kepada Amerika bagi tercapainya kemerdekaan Negara dengan mayoritas muslim ini.
Kita Masih Dijajah
Kini setelah sejarah itu berlalu puluhan tahun, kita masih merasakan bahwa beban sejarah itu masih menggantung di pundak para pemimpin Indonesia. Bahwa mereka seakan memiliki hutang budi pada Amerika hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Sebab Kiprah AS memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, hanya tindakan untuk menggenapi moto bahwa “tidak ada makan siang yang gratis”.
Kita mulai dari tambang emas di ujung Indonesia. Menurut Marwan Batubara, baru pada tahun 1995, Freeport secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport berdalih hanya sebagai penambang tembaga, tidak lebih. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Masih menurut Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara) itu, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport.
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Kejinya, untuk menutupi aksi illegal dan korupnya, Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan. Koran The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan, pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI.
Belum lagi kita juga melihat kapitalisasi Asing yang menjajah di Indonesia, seperti Exxonmobile. Masih menurut Marwan Batubara, tokoh muslim yang getol membuka aib sumberdaya Indonesia yang dikeruk AS, bahwa porsi bagi hasil Exxon dan pemerintah ditetapkan sebesar 100:0. Artinya, pemerintah sama sekali tidak memperoleh bagi hasil, karena seluruh keuntungan produksi gas yang dihasilkan Natuna merupakan hak milik Exxon selaku kontraktor. Alasannya, eksploitasi D-Alpha Natuna membutuhkan investasi biaya yang besar dan biaya pemisahan CO2 sangat tinggi. Sedangkan potensi penjualan gas saat itu masih rendah. Karena itu, bagian 100% keuntungan bagi kontraktor dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Lalu bagaimana dengan California Texas (Caltex) yang di Riau, entahlah betapa sumberdaya bangsa ini sudah dipreteli satu persatu.
Dan terakhir tentu masih hangat dalam ingatan kita terkait perluasan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Bagaimana mungkin ada sebuah kedutaan dari sebuah negara pembunuh umat muslim bisa dengan bebasnya mendirikan bangunan setinggi 10 lantai. Apalagi dalam dokumen kontrak pembangunan gedung tersebut (Department of State 2012 Design-Build Contract for US Embassy Jakarta, Indonesia) memang nyata-nyata disebut bahwa pembangunan gedung itu berikut markas satuan pengaman laut atau Marine Security Guard Quarters(MSGQ) dengan embel-embel fasilitas rahasia dan personel keamanan yang diperlukan.. (“1. Project Description (Secret Facility and Personnel Security Clearances Required)SAQMMA-12-R0061, Jakarta, Indonesia NEC. The project will consist of design and construction services including a New Office Building (NOB) with attached Marine Security Guard Quarters (MSGQ).” Dan pemerintah RI tidak bisa berbuat apa-apa.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bangsa Indonesia merenung. Bahwa hingga kini kita betul-betul tidak bisa membedakan bahwa siapakah sebenarnya yang merdeka: Indonesia atau Amerika? Siapakah yang menikmati indahnya alam nusantara: Indonesia atau Amerika? Siapakah yang dengan sewenang-wenangnya mengatur pemerintahan ini: Indonesia atau Amerika? Karena kemerdekaan sejati hanyalah terjadi ketika kita melepaskan diri dari intervensi penjajahan kaum kuffar dan menerapkan hukum Allah di negeri ini, bukan demokrasi dan kapitalisasi. Karena itulah cita-cita para ulama dan mujahid yang membebaskan negeri ini dengan darah dari imperialisme asing.
Dan kita yakin saudara-saudara…. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. (Bung Tomo). [Pizaro]