Cerpen: Irawaty Nusa
Cerpenis dan kritikus sastra, menjadi peneliti historical memory Indonesia
irawatynusa@gmail.com
HARIS sedang berdiri membungkuk di atas pagar beton jembatan Kalitimbang. Sore itu, ia termenung menatap permukaan air yang nampak gelap. Arusnya deras berpusar seperti kaca cair. Ia ingin sekali melompat di bagian pusaran itu, sambil bertanya-tanya dalam hati, seberapa lama seseorang dapat bertahan hidup di dalamnya. Ia melangkah semakin maju, namun tiba-tiba dikagetkan oleh tepukan tangan di bahunya.
“He, untuk apa kamu melakukan itu?”
Haris berpaling marah pada seorang lelaki pendek dan ceking, dengan suaranya yang parau dan agak serak.
“Melakukan apa?” tanya Haris muram.
“Melakukan yang kamu pikirkan.”
“Apa yang saya pikirkan?” katanya kesal, “apa urusannya dengan Anda?”
BACA JUGA: Raihan!
“Ah, jangan pura-pura, Bung, saya tahu apa yang akan Bung lakukan di sini.”
Haris mengernyitkan dahi, ingin tahu siapa lelaki pendek itu. Sepertinya orang biasa seperti kebanyakan orang. Tapi tatapan matanya agak aneh, berwarna biru dan terang. Ia memiliki tatapan tajam tetapi ada rasa empati yang terkandung di dalamnya. Namun selain itu, biasa-biasa saja. Rambutnya agak panjang dan kurang begitu rapi. Ia membawa ransel hitam di punggungnya. Sejenak ia menebak-nebak apakah ia seorang salesman. Ah, paling-paling ia akan menawarkan sesuatu, entah makanan atau minuman buatannya sendiri, atau sejenis obat-obatan herbal.
Lelaki pendek itu berpaling, seakan ia mengendus rasa kesal dan jengkel pada wajah Haris, kemudian katanya lagi, “Kamu sudah bosan, ya?”
“Sudah bosan pada apa?” tanyanya ketus.
“Pada kehidupan ini?”
Haris diam di bawah tatapan hening lelaki asing itu. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, “Kamu tidak boleh memikirkan hal semacam itu. Kamu harus memikirkan Fauziah istrimu, juga ibumu, juga Adiba dan Anisa anak-anakmu…”
Haris ingin membuka mulut untuk mananyakan dari mana orang asing itu bisa tahu nama istri dan kedua anaknya. Tetapi sebelum ia bertanya, justru lelaki asing itu mendahuluinya, “Tak usah tanya dari mana saya tahu. Hal ini memang pekerjaan saya. Karena itulah saya buru-buru datang ke jembatan ini untuk memperingatkan orang-orang seperti Anda….”
Untuk menepis rasa jengkelnya, akhirnya Haris membongkar rencananya semula, “Kalau memang kamu tahu banyak tentang saya. Sekarang saya mau tanya, kenapa saya masih hidup?”
Lelaki pendek itu terkekeh-kekeh. Dari caranya tertawa membuat Haris agak merinding. “Ketahuilah Bung Haris, sebenarnya kehidupan yang dijalani Bung itu tidak buruk-buruk amat. Bung punya istri dan anak-anak. Badan sehat walafiat. Bekerja di suatu perusahaan, dan sebentar lagi merampungkan rumah untuk didiami bersama keluarga… dan…”
BACA JUGA: Bantal Guling
“Dan… saya muak dengan semua ini!” teriak Haris. “Saya tersesat di tengah kehidupan yang brengsek ini! Melakukan pekerjaan yang itu-itu saja setiap hari. Saya ini hanya karyawan, sementara banyak orang hidupnya lebih mujur, menjadi polisi atau tentara. Sedangkan saya, apa yang bisa dibanggakan dari orang semacam saya? Lebih baik saya mati, dan kadang berpikir untuk apa orang seperti saya ini dilahirkan? Saya tak pernah minta lahir….”
Lelaki pendek itu berdiri menatapnya dalam keremangan yang semakin bertambah. “Baik, apa yang tadi kamu katakan?” tanyanya perlahan.
“Saya tak pernah minta lahir! Untuk apa saya dilahirkan?” katanya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba lelaki asing itu tertawa gembira, “Baiklah kalau begitu… permintaanmu akan segara terkabul, baiklah kalau begitu…”
“Baiklah apanya?”
“Katanya kamu tak ingin dilahirkan. Oke, siap-siap saja. Sebentar lagi kamu tak punya tanggungan apa-apa. Kamu akan bebas sebebas-bebasnya. Tak perlu anak-istri, orang tua, pekerjaan. Keinginanmu itu akan saya sampaikan. Urusanmu sekarang sudah selesai.”
“Ngomong apa kamu? Dasar sableng!”
Ia beranjak dari tempat itu, tetapi lelaki pendek itu mengejarnya dan merenggut lengannya. Ia membuka ranselnya kemudian menyerahkan setumpuk kemoceng. “Bawalah ini… mudah-mudahan ini bisa membantu kamu…”
“Buat apa ini?”
“Pokoknya bawa saja, buat pintu rumah orang yang tidak menerima kamu.”
“Siapa dan tidak menerima siapa? Saya mengenal semua orang di Desa Kalitimbang ini.”
“Ya, saya tahu,” kata lelaki itu dengan sabar. “Tetapi bawa saja kemoceng-kemoceng ini. Tidak akan merepotkan dan mungkin akan membantu. Jadi, nanti kalau kamu memasuki rumah, bilang saja bahwa ini kemoceng terbaru. Diberikan kepada semua orang dengan gratis. Semoga alat pembersih ini dapat berguna untuk keperluan Bapak dan Ibu sehari-hari…”
“Dasar sinting!”
Ia menyerahkan setumpuk kemoceng itu dalam genggamannya, dan Haris pun menerimanya meskipun dengan sangat terpaksa.
Tak berapa lama, lelaki asing itu menyusup ke semak-semak pepohonan yang tinggi. Matahari sudah menghilang di ufuk barat, dan suasana pun sudah mulai gelap.
***
Lampu-lampu di sekitar jalanan Desa Kalitimbang sudah menyala. Bagaimanapun, di desa sederhana tempat kita lahir dan tumbuh besar tak lain merupakan satu-satunya tempat di permukaan bumi di mana kita benar-benar merasa ada dan eksis sebagai manusia. Tiba-tiba Haris dirundung rasa kangen dan rindu pada orang-orang rumah. Termasuk pada tetangganya Bi Marfuah yang bawel dan cerewet, yang tembok rumahnya pernah ditabrak oleh motor matic miliknya. Pagar besi itu masih meleot dan miring belum sempat dibetulkan. Sesaat Haris memeriksa pagar itu tetapi kok tidak ada lagi yang miring dan meleot. Apakah Bi Marfuah sudah menyuruh orang untuk memperbaikinya?
Haris menyalakan korek dan membungkuk untuk memeriksa lebih dekat. Ia menegakkan badan dengan perasaan janggal yang tidak nyaman dalam dirinya. Ya, tidak ada bekas apapun. Bahkan tidak ada bekas dilas atau dicat baru untuk menutupi lecet-lecet di permukaannya.
BACA JUGA: Disaster Jono
Ketika ia melintasi perusahaan tempatnya bekerja, ia melihat bangunan itu gelap gulita. Juga tirai yang menutupi jendela-jendelanya dibiarkan terbuka. Ia melangkah cepat menuju pintu gerbang, namun di pintu masuknya tertulis kata-kata: DIJUAL ATAU DISEWAKAN Hub. 081218595887.
Mucullah Pak Idris, seorang security yang sebenarnya ia kenal, tetapi tiba-tiba orang itu bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Perusahaan ini? Kenapa dengan perusahaan ini?”
“Saya kira tidak ada yang aneh dengan bekas perusahaan ini.”
“Bekas perusahaan? Emangngnya kenapa? Bangkrut?”
“Saya kira sejak lima tahun lalu, dan sekarang bangunan ini mau disewakan. Bapak ada minat?”
Haris menyeret kakinya dengan berat. Ia berdiri memandangi bangunan kosong itu, kemudian kata Pak Idris lagi, “Emangnya, Bapak datang dari mana?”
***
Haris menuju rumah ibunya yang sedang memberi makan seekor kucing di halaman rumah. Melihat ia datang, kucing itu mengeong dan menggeram marah. “Maaf Dik, kucing saya ini memang cerewet kalau melihat orang asing. Ada perlu apa, Dik?”
Haris segera mengambil kemoceng dari tas plastik, kemudian katanya dengan agak terbata, “Maaf Bu, saya ini pekerja di pabrik kemoceng… barangkali Ibu berminat untuk sekedar bersih-bersih rumah… saya berikan dengan gratis, Bu.”
“Gratis? Jadi, saya tak perlu bayar?”
“Iya, tidak usah.”
Ibunya tersenyum menanggapi kecanggungannya. “Sebaiknya kalian jual saja kemoceng bagus ini, lumayan…”
“Ini sekadar promo, Bu, pabrik kami baru berdiri di sini…”
“Di sini?”
“Maksud saya di sana Bu, di Kota Cilegon.”
Mereka saling diam, kemudian kata ibunya, “Apakah Adik mau masuk sebentar. Nanti saya buatkan kopi atau teh?”
“Tidak usah, Bu, terima kasih.”
Sebelum pamit keluar pagar, ada satu pertanyaan yang disampaikan kepada ibunya, untuk memastikan apakah ia mengenali Fauziah istrinya.
“Tentu saja kenal, Fauziah itu menantu saya. Dia sudah punya dua puteri dan tinggal bersama suaminya.”
Haris mendesah perlahan. Ia menatap sekitar halaman rumah orang tuanya, mencoba mencari tahu kenapa tempat itu tampak berbeda. Di sebelah kanan tadinya ada pohon mangga dan jambu, tapi kenapa sekarang dihampari konblok dan sebuah taman. Wajah ibunya agak muram, tetapi tidak mengatakan apa-apa, sampai kemudian ia pamit dan keluar menuju pintu pagar.
***
Sekarang ia benar-benar ingin menemui Fauziah istrinya. Ia tidak yakin sanggup menghadapi Fauziah yang tidak mengenalinya, tapi ia harus menemuinya.
Ia tersandung-sandung sepanjang jalan menuju rumahnya sendiri. Halamannya kotor, dan semak bunga yang selalu ia potong rapi tampak tak terawat dan tumbuh liar. Seketika ia mengetuk pintu. Keheningan panjang mengikuti, diakhiri seruan anak-anak kecil. Kemudian Fauziah datang membukakan pintu.
Haris membuka tasnya. Salah satu kemoceng dengan warna kehijauan, bergagang rotan bermotif batik. Mestinya kemoceng unik itu tak usah dibagikan secara cuma-cuma, tetapi Haris tak peduli. Ia tetap memberikannya pada Fauziah. “Ini cocok dengan warna bupet dan sofa yang Mbak miliki.”
“Wah, terima kasih, Pak… jadi, saya tak usah bayar?”
“Tidak usah, Mbak.”
Mengenai sofa yang mereka duduki itu, sebenarnya pernah menjadi bahan pertengkaran sengit soal pilihan warna. Haris menghendaki yang ungu tetapi Fauziah bersikeras memilih yang hijau muda. Pertengkaran itu baru mereda setelah Haris minta pendapat anak pertamanya Adiba, yang kemudian memilih warna yang diinginkan ibunya.
Fauziah menyapu bupet dengan kemoceng itu untuk menghaluskan bulu-bulunya. “Wah, ini benar-benar kemoceng yang unik,” katanya.
BACA JUGA: Maaf, Ikhwan itu Pacar Saya
Tiba-tiba terdengar suara dari ruang tengah, lalu muncullah sosok laki-laki berperawakan tinggi dan dada bidang, kontan menatap Haris dengan curiga, “Bapak siapa?”
Dengan suara yang agak tercekat di tenggorokan, Haris menjawab ragu, “Saya dari perusahaan kemoceng, sedang berkeliling…”
“Tidak perlu! Di sini banyak alat pembersih… sebaiknya Bapak tawarkan saja ke kampung-kampung seberang sana…”
“Pah, dia memberikan ini dengan gratis,” Fauziah menyela, kemudian memperkenalkan suaminya, “Kenalkan Pak, ini suami saya Farid.”
Oo iya, Farid? Haris kenal betul nama itu. Fauziah pernah bercerita tentang teman dekatnya sewaktu SMA yang pernah beberapa kali mengajak nonton dengannya. Tetapi, ketika menginjak kelas tiga Fauziah berusaha menjaga jarak karena pergaulan Farid yang kurang baik. Suatu ketika ia bersama tiga temannya tertangkap polisi karena kasus narkoba. Sejak peristiwa itu, Fauziah menuruti nasihat kedua orang tuanya agar menjauh darinya. Hingga kemudian, ketika menginjak bangku kuliah ia bertemu dengan Haris yang waktu itu aktif di suatu organisasi sosial setelah lulus perguruan tinggi.
Haris menatap putus asa pada Fauziah, terlebih ketika Fauziah beralasan bahwa ia sedang sibuk di dapur, yang dengan sendirinya mengusir Haris secara tidak langsung. Haris undur diri dan pamit segera meninggalkan rumah itu. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju jembatan Kalitimbang untuk menemukan lelaki pendek dan ceking, serta untuk membujuknya agar mengembalikan pada keadaannya semula.
***
Sesampainya di jembatan hatinya merasa lega ketika ia menjumpai lelaki pendek itu, dan kontan menyemprotnya, “Pak, saya tidak suka dengan kondisi saya sekarang ini. Tolong keluarkan saya dari sini, karena semua ini awalnya dari Bapak…”
Orang asing itu mengernyitkan dahinya. “Apa? Awalnya dari saya? Bukankah semua itu karena kemauan kamu sendiri?”
Ia mengingat pernyataan dirinya di hadapan lelaki asing itu, bahwa kehidupan ini brengsek, bahwa dirinya hanya sampah masyarakat, bahwa lebih baik tak pernah dilahirkan di muka bumi ini. Dan ia pun sadar bahwa kehendaknya telah menjadi doa-doa yang terkabulkan.
“Bukankah kamu telah menjadi orang yang bebas selama ini? Tanpa ikatan dan tanggung jawab dengan siapapun?” tanya orang asing itu, “Lalu, apa lagi yang kamu kehendaki sekarang?”
“Tolomg Pak, kembalikan saya pada kondisi semula, tolong Pak…,” suaranya begitu mengiba dan mengaduh.
“Jadi, kamu ingin kembali seperti sedia kala?”
“Iya Pak, tolong Pak, ini bukan hanya untuk kepentingan saya sendiri tapi juga demi semuanya. Barangkali Bapak tidak mengerti soal ini. Jadi, tolong kembalikan saya, Pak….”
“Saya mengerti apa yang kamu alami, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menjalankan tugas.”
“Tolong, Pak… tolonglah saya, Pak….” Haris terus mengaduh dan minta tolong. Ia menjatuhkan diri ke tanah dalam posisi sujud.
“Sebenarnya saya sudah tahu dari awal. Saya hanya ingin memastikan apakah kamu mengerti dan mampu mensyukuri kehidupan ini. Percayalah, hidup ini adalah nikmat dan anugerah terbesar. Dan kamu telah dianugerahi agar menjadi bagian dari kehidupan dunia ini, serta menjalankan peran yang kamu jalani. Tetapi, kenapa kamu menolak anugerah itu?”
Sementara orang asing itu bicara, hujan deras tiba-tiba turun dari langit. Tak berapa lama, sayup-sayup suara itu menghilang. Haris bangkit menengadah, tetapi lelaki asing itu sudah pergi entah ke mana.
Haris merasakan tetesan air hujan yang dingin pada wajahnya. Ketika ia membuka mata, air hujan semakin deras hingga menutupi pandangan matanya. Ia berpegangan pada pagar jembatan, kemudian melangkah cepat menuju kediamannya.
Kini hujan agak mereda. Ketika melintasi rumah tetangganya Bi Marfuah, ia memeriksa dengan gugup pada bagian lecet dan miring di pagar besinya. Ternyata lecetnya masih ada. Syukurlah. Ia menyentuh dan memegang pagar tetangganya itu dengan perasaan sayang, lalu berjanji dalam hatinya bahwa esok hari akan minta izin pada Bi Marfuah untuk memperbaikinya.
Ketika ia hendak membuka pintu pagar rumahnya, tiba-tiba melintas di depannya Pak Idris mengendarai sepeda motor, “Halo, Ris,” sapanya, “baru pulang kerja ya?”
“Iya, banyak kerjaan, Pak,” jawabnya sambil menghela nafas.
Kemudian, ia segera membuka pintu rumah dan memanggil dengan kencang, “Mah… maaah, di mana anak-anak?”
Istrinya datang padanya, seraya terheran-heran menatapnya, “Ada apa Pa? Tumben jam segini baru pulang. Banyak kerjaan ya? Anak-anak sudah pada tidur sejak tadi….”
BACA JUGA: Ia yang Duduk di Sebelah
Tetapi, tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Haris kecuali memeluk istri dan menciuminya, kemudian menyeretnya ke kamar anak-anak dan memeluk Adiba dan Anisa di tempat tidur hingga keduanya terbangun dan merasa heran pada ulah ayahnya.
“Kenapa Pa… ada apa?” tanya istri dan kedua anaknya bingung.
Haris menyuruh anak-anak agar tidur kembali, lalu mengajak Fauziah menuju sofa untuk menceritakan semua yang telah ia alami. Di tengah kisah yang disampaikannya itu, ia menggeser duduknya sedikit, lalu seketika tangannya menyentuh sesuatu yang berada di atas sofa, yakni kemoceng dengan gagang rotan bermotif batik. []
·