Oleh: Abyan Ajrurrafi Syauqi
Universitas Sebelas Maret
abyansyauqi@student.uns.ac.i
BANYAK kisah yang telah kita ketahui dan kita dapatkan mengenai bagaimana kemudahan itu selalu menyertai susahnya seseorang, bagaimana mudah itu hadir di tengah-tengah kesulitan, dan bagaimana kemudahan itu datang sebagai balasan dari usaha seseorang dalam menghadapi berbagai kesusahan dan kesulitan.
Bahkan ketika kita yakini bersama, Allah sudah Menyampaikan FirmanNya di dalam AlQuran, bahwasanya sungguh dibalik kesulitan itu pasti ada kemudahan. Lantas apalagi yang harus kita ragukan?
Seringkali kita ragu terhadap balasan Allah. Bahkan ayat-ayat yang kita yakinin tadi, firman-firman Allah yang sebelumnya kita yakini tadi seakan-akan sirna tenggelam di lautan penuh keraguan.
BACA JUGA: Dua Kemudahan Setelah Kesulitan
Percayalah, keraguan tersebut hadir dan sampai atas perantara syaitan yang terus menerus ingin menjauhkan manusia dari dekat kepada Rabbnya.
Sebagai hambaNya yang beriman, sudah seharusnya kita yakin dan meyakini, bahwa Allah-lah Sang Pemilik langit dan bumi ini. Allah-lah yang Maha Memudahkan, Ia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu apakah kita masih ragu akan Janji-Janji Allah? Semua kembali pada diri kita.
Kesulitan yang menghampiri diri kita tidak sebesar kesulitan yang menghampiri Anbiya’ , para Salafus Shalih, dan para ‘Ulama. Jauh sekali dari kata seimbang. Mereka lebih mendapatkan kesulitan, kesusahan, dan cobaan yang amat berat dari diri kita. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang cobaannya luar biasa berat.
Ketika beliau berdakwah, beliau dicaci maki, dilempari kotoran hewan, disebut sebagai orang yang gila, dan masih banyak cobaan lainnya yang tentu kita tidak mendapatkannya. Dikisahkan pula di Surat AlKahfi, bagaimana pemuda-pemuda itu teguh mempertahankan keimanan mereka walau mereka diburu, dikejar, dan diusir dari kampung halamannya.
Dan masih banyak lagi kisah yang dapat kita ambil pelajaran di dalamnya.
Dan tentu, kisah-kisah tadi juga dapat menjadi cermin bagi kita, seberat apakah ujian, cobaan, kesulitan, dan kesusahan yang kita alami? Apakah seberat mereka para ‘Anbiya, Salafus Shalih, dan para ‘Ulama?
Mari kembali kita teguhkan hati kita, pikiran kita mengenai bagaimana sikap kita dalam menghadapi kesulitan di dunia yang fana ini. Luruskan kembali niat kita, bahwasanya segala sesuatu itu hanya milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
BACA JUGA: Masya Allah, Ini Manfaat Syari’at bagi Wanita
Jadikan momen kesulitan ini menjadi ajang untuk kita bersama dalam kembali mendekatkan diri kepada Allah dan benar-benar menjadi jembatan kita untuk menuju titik atau puncak kebahagiaan seorang manusia, yaitu ketika seseorang mencapai tingkat ma’rifatullah.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali Rahimahullah,
“Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah ma’rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan?” []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.