TETIBA ulama besar itu minta sopir menghentikan mobilnya. Lalu keluar dan melangkah ke sebuah…
Masjid untuk shalat? Rumah makan untuk sarapan? Atau warung untuk sekedar ngopi?
Bukan. Tapi toilet.
Sang sopir yang mengikutinya merasa heran, sebab beliau ke toilet bukan untuk buang hajat atau ambil wudhu, melainkan mengambil sikat dan membersihkannya.
BACA JUGA:Â Daging Para Ulama Itu Beracun, Apa Maksudnya?
Lho, ada apa ini? Beliau bukan petugas kebersihan toilet, melainkan tokoh besar yang dihormati masyarakat. Ulama besar yang baru saja selesai mengisi acara di sebuah universitas ternama.
“Apa yang Anda lakukan, wahai Syaikh?” tanya sang sopir.
“Saya sedang menebus dosa yang baru saja saya lakukan,” jawab Syaikh Mutawalli as-Sya’rawi Rahimahullah dengan nada lirih, “Saya merasa bangga ketika pulang dari kuliah umum dan mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari Universitas. Dengan begini, saya sedang menenangkan hati saya sendiri bahwa saya bukan siapa-siapa.”
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sepenggal kisah ini?
Sungguh Syaikh Mutawalli menyadarkan kita untuk senantiasa berendah hati, merenung dan menyadari diri, betapa lemah, hina dan rendahnya manusia di hadapan Allah SWT.
Penghormatan, sanjungan, dan meriahnya tepuk tangan kerap mengotori hati. Tumbuh bangga diri, sombong, dan merasa hebat.
Yang dengan kebanggan ini kadang manusia tergelincir pada lembah nista dan berlumur dosa.
BACA JUGA:Â Saudaraku, Inilah Sumber Dosa
Sehingga, mawas diri untuk senantiasa menyadari betapa kita lemah dan penuh dosa menjadi sebuah kemestian.
Para pembicara, ustaz, tokoh, guru, dosen, trainer dan semisalnya, adalah sosok-sosok yang rentan dihinggapi sombong sebab sanjung dan puji para penggemarnya, murid-muridnya dan mereka yang mengaguminya.
Apalah artinya kita dibandingkan keagungan Allah SWT, hanya butiran debu yang tak berharharga.
Ya Allah, ampuni dosa kami. Bimbing hamba yang lemah dan bodoh ini. []