“Tidak ada seorangpun yang keadaan hidup ataupun kematiannya lebih membuatku iri daripada dirimu”, demikian Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib berkata dalam duka melepas Sayyidina ‘Umar ibn Al Khaththab.
“Betapa aku yakin engkau kelak akan dihimpun bersama kedua sahabatmu itu”, sambungnya. “Sebab sungguh terlalu sering aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Aku pergi bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar.”
Ah, Sayyidina ‘Ali. Allah ridha padamu dan sahabat-sahabatmu. Betapa manis kau mengenang mereka yang pergi meninggalkanmu, bahkan meski pernah ada luka di antara kalian. Seperti ketika di suatu hari yang mendung dalam Perang Jamal, engkau memangku putra Thalhah dan putra Az Zubair di samping sebuah liang lahat.
Nun di bawah sana, hendak dikubur 2 orang yang saling mencinta lagi sangat kaucintai, yang pernah berhadapan denganmu di perang yang tak diinginkan, yang terbunuh oleh orang-orang yang takut pada perdamaian, tepat ketika mereka berdua pulang dari kemahmu setelah memulihkan ukhuwah.
Kala itu kau berkata pada kedua bocah yang lugu itu, “Nak… Aku berharap bahwa aku dan kedua ayah kalian termasuk ke dalam apa yang difirmankan oleh Allah,
‘Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan dalam keadaan penuh rasa persaudaraan.’ (QS Al Hijr: 47)
Kenangan… Meski kau melangkah pergi menjauh, sebenarnya ia tak pernah kautinggalkan. Ia bahkan selalu menyertai, menjadi nikmat yang tak dapat didustakan hingga ke haribaan Ilahi. Seperti teh racikan Hafiz Mustafa di Istanbul, yang melekat bersama lelehan keju dalam Borek, dan taburan Pistachio cincang di atas Kunefe; ia memberi tadzkirah bahwa setiap nikmat ada hisabnya. []