Oleh: Ihsan Syakir, Alumni Univ. Al-Iman, Sana’a Yaman
SUATU hari di tahun 1999, Sana’a Yaman.
Pagi itu, ada suasana berbeda dan tidak seperti biasanya di kompleks kampus. Terlihat ada kesibukan yang lain dari yang lain. Jam awal tanda dimulainya perkuliahan sebenarnya sudah lama berlalu. Pada saat seperti ini semestinya semua mahasiswa dan mahasiswi harus sudah berada di kelasnya masing-masing untuk mengikuti materi kuliah. Tapi pagi itu, tampaknya ada perubahan besar. Ruang-ruang kelas tampak lengang dan kosong. Tak seorang mahasiswa pun yang tampak di dalamnya, tak kelihatan ada kegiatan belajar mengajar di sana. Begitu pula dengan seluruh bangunan administrasi. Seluruh tempat di komplek kampus benar-benar sepi.
Sementara itu di halaman sekitar masjid yang terletak di tengah kampus telihat pemandangan yang sangat kontras. Di sanalah massa dalam jumlah begitu besar berkumpul. Ternyata, semua penghuni kampus telah berkumpul sejak pagi. Semua berbaur jadi satu, mahasiswa, masyayikh, para pegawai dan beberapa tamu juga tampak hadir di sana.
Khusus hari itu, rupanya pihak universitas telah meliburkan aktivitas belajar mengajar dan lainnya. Hari itu, universitas kedatangan seorang tamu agung dari jauh, seorang syaikh, seorang tokoh dunia Islam yang baru saja dibebaskan dari ujian penjara tirani bangsa Yahudi. Menurut rencana, tamu ini akan bersilaturrahmi dengan seluruh penghuni jami’ah/universitas dan akan menyampaikan taushiyah. Saya lalu menggabungkan diri. Ikut larut bersama ribuan jama’ah lainnya di halaman masjid.
Sesuai instruksi dari pimpinan jami’ah para mahasiswa diperintahkan untuk berdiri berjejer rapat di tepi kiri dan kanan jalan yang akan dilalui oleh tamu dan rombongannya. Mulai dari gerbang masuk kompleks jami’ah sampai depan pintu masuk masjid yang berjarak kiloan meter sebagai bentuk penyambutan hangat bagi tamu dan rombongan. Dengan patuh, para mahasiswa segera melaksanakan titah tersebut. Detik berlalu menit pun berganti, sudah sekian lama dan sang tamu yang dinanti belum kunjung tiba. Semua mata tertuju ke arah gerbang masuk, berharap segera melihat sosok tamu yang dinantikan muncul di sana. Udara gurun kian menyengat, tapi para mahasiswa penyambut masih sabar bertahan.
Tiba-tiba terjadilah kegaduhan, para mahasiswa penyambut yang berdiri dekat gerbang masuk jami’ah tiba-tiba berhamburan lari saling mendahului berebutan menuju masjid. Massa yang sejak pagi berkerumun di sekitar masjid pun terpengaruh. Terjadi saling dorong, saling desak, dan semua memaksa berebutan untuk segera memasuki masjid. Sebelum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi tubuh kecil saya telah terseret arus massa ke depan pintu masjid. Terjadi pergumulan ribuan massa di sana. Pintu masjid yang terbuat dari besi pun jebol. Aliran massa segera mengalir deras memasuki pintu masjid yang terbuka. Dengan susah payah, saya berhasil melewati pintu masjid dan segera mencari tempat untuk duduk dekat dengan mihrob. Hiruk pikuk menyergap ruangan masjid yang telah dipenuhi ribuan jamaah yang duduk saling berhimpitan. Semua mata para jamaah kini tertuju dan terpaku pada sesosok orang yang kini telah duduk menghadap jamaah yang hadir. Beliau diapit beberapa pengurus jami’ah. Walaupun ini adalah kali pertama saya bisa bertemu dan melihat langsung sosok itu, dengan segera saya bisa mengenali siapa sosok yang jadi perhatian semua orang itu. Tak salah lagi, sosok yang sekarang jadi pusat perhatian semua jamaah adalah tamu yang memang sejak tadi telah ditunggu ribuan jamaah di luar masjid sana. Suara tasbih, tahmid, dan takbir sebagai rasa syukur atas kehadirannya segera terdengar di sana-sini.
Rupanya sudah sejak tadi tamu dan rombongannya yang dinanti semua orang itu telah tiba dan hadir di kompleks jami’ah dari arah lain sehingga tidak diketahui banyak orang. Lalu dengan diam-diam rombongan ini masuk masjid juga dari pintu dan arah lain yang sama sekali tidak diduga semua jamaah.
Acara segera dibuka, seorang kawan dari Indonesia dipercayai panitia untuk membaca tilawah pembuka. Ada sebersit kebanggaan di hati semua mahasiswa Indonesia saat itu. Setelah sambutan dari beberapa pengurus jami’ah, tibalah saatnya giliran syaikh, tamu agung yang dinanti-nanti untuk menyampaikan taushiyah dan wejangannya. Gemuruh takbir ribuan jamaah segera membahana di seantero ruangan masjid. Tak hanya itu, mata beberapa jamaah kelihatan menahan haru, isak lirih tangisan terdengar di sana-sini menyambut pidato sang syaikh. Di usianya yang semakin senja, di atas kursi rodanya yang khas, di tengah kelumpuhan total yang mendera sekujur jasadnya, syaikh tampak begitu besar. Begitu perkasa. Begitu berwibawa. Sungguh sosoknya begitu memukau setiap mata.
Syaikh mulai wejangannya tentang keutamaan ilmu, tentang kewajiban mencarinya, tentang keharusan mengajarkan dan menyebarkannya, serta kewajiban untuk mengamalkannya. Dengan suaranya yang khas, syaikh membawa jamaah larut dalam setiap tutur katanya. Setelah itu, syaikh mulai bercerita tentang bala yang menimpa bangsanya, tentang petaka yang menimpa tanah kelahirannya, tentang derita yang dilantunkan setiap anak negerinya, tentang penghinaan yang dialami oleh tanah tumpah darahnya… tentang Palestina dan Al-Aqsha, tentang intifadoh, tentang perjuangan anak-anak dan batunya untuk meraih kemerdekaan dan kemuliaan bangsa dan agamanya…. Kami pun tersentak mendengar bahwa segala penghinaan yang terjadi di sana pada hakikatnya bukan penghinaan bagi bangsa Palestina saja. Akan tetapi, juga kita umat muslim sedunia.
Persoalan dan permasalahan Palestina dan Al-Aqsho bukan hanya permasalahan untuk orang Palestina saja, bukan hanya permasalahan ras Arab saja, atau negara-negara timur tengah saja; lebih dari itu, problematika Palestina dan Al-Aqsho adalah problematika dan tanggung jawab setiap anak manusia yang telah mengikrarkan lafazh syahadat dan mengaku dirinya sebagai seorang muslim. Segala usaha dan upaya pembebasan yang hanya mengatasnamakan sebuah ras, suku, bahasa, bangsa, dan wilayah teritorial tertentu tidak akan pernah berhasil, kenyataan telah membuktikannya. Palestina dan Al-Aqsho hanya bisa direbut, dibebaskan, dan kembali ke pangkuan Islam bila diatasnamakan Islam dan seluruh umat Islam. Setiap umat Islam diharuskan memberikan andil sesuai dengan kafaahnya masing-masing dalam rangka pembebasan Palestina, buminya para anbiyya, dan Al-Aqsho tanah yang disucikan diberkati sekelilingnya, qiblat pertama umat Islam, dan tempat dimi’rajkan nabi penghulu alam Muhammad saw.
Terakhir, syaikh menyatakan bahwa jihad perlawanan masih, sedang dan akan terus berlangsung di sana. Batu tidak akan pernah habis. Para ibu tidak akan pernah bosan mengorbankan anak, suami atau saudara lelakinya untuk menjadi martir dan syuhada, sebagai harga untuk sebuah kemuliaan.
Tanpa terasa sejam berlalu. Setelah mendoakan kami semua, syaikh lalu mengakhiri taushiyahnya. Dengan berat hati dan dengan iringan do’a, kami pun melepas kepergian syaikh untuk kembali ke negerinya. Kembali untuk terus menggelorakan dan mengobarkan api perlawanan terhadap zionis Israel. Kembali untuk menggerakkan batu-batu agar terus berhamburan mengguncang dan menggentarkan tanah pijakan Yahudi dan sekutunya. Dari atas kursi rodanya… dengan kelumpuhan yang mendera sekujur jasadnya.
Itulah kali pertama pertemuan saya sekaligus yang terakhir dengan tokoh agung yang kharismatik ini. Namun, kenangannya masih terekam kuat di benak pikiran, lubuk hati, dan bayangan mata.
Kini…, tokoh agung itu telah tiada. Senin pagi, 22 Maret 2004 dengan hati batunya dan dengan kejinya, Yahudi La’natulloh a’laih menembakkan sebuah rudal pada beliau beserta rombongannya usai shalat subuh di sebuah masjid. Beliaupun gugur menemui rabbnya sebagai syahid.
Ada pertanyaan, apa sesungguhnya salah beliau, sehingga zionis merasa harus merudal dan membunuhnya? Wajah yang begitu teduh, sorot mata yang begitu lembut, begitu rahim. Apa sesunguhnya yang ditakutkan dari seorang laki-laki yang berusia senja, seorang yang lumpuh tubuhnya, yang hanya mampu duduk di atas sebuah kursi roda, yang tak kuasa menggerakkan tubuhnya kecuali kepalanya saja? Jawabannya jelas dan pasti. Karena beliau adalah Syaikh Ahmad Yasin, pemimpin spiritual Hamas. Beliau adalah penggagas intifadoh, pemimpin perlawanan dan perjuangan terhadap Yahudi Israel.
Pertanyaan keduapun terjawab, cita-cita beliau adalah mati syahid. Tapi…, bagaimana? Bukankah beliau menderita lumpuh total? Bukankah beliau hanya bisa duduk di kursi roda saja? Bukankah beliau hanya bisa menggerakkan kepalanya saja? Bukankan beliau tidak bisa mengangkat senjata ataupun batu sebagai simbol sebuah perjuangan dan jihad di Palestina sana? Bagaimana beliau menemukan syahidnya?
Syahid adalah seni kematian yang tertinggi dan paling mulia. Tidak setiap orang yang mengidamkannya bisa menggapai atau merengkuhnya. Hanya orang-orang pilihanlah yang bisa mencapainya dan meraihnya. Dan syaikh kini telah mendapatkannya… Haniian Laka Ya Syaikh…!
Nun di atas sana, para bidadari Hurun ‘in berbaris rapi menatap bumi Palestina seraya berseru, “Bariskan sejuta syuhadamu…baru kan kuterima pinanganmu…!
Selamat jalan Ya Syaikhul Mujahid…
Selamat jalan Syaikh Ahmad Yasin… []