BEKERJA adalah kewajiban setiap manusia. Tanpa bekerja seseorang tentunya tak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitupun dengan Rasulullah SAW. Meski Beliau orang yang dekat dengan Allah SWT, bukan berarti Beliau hidup hanya berpangku tangan kepada-Nya. Rasulullah SAW tetap bekerja sebagai pedagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari sekian banyak pekerjaan untuk mencari rezeki, berdagang menjadi salah satu jenis pekerjaan yang utama dalam agama Islam. Dalam sastra melayu, pedagang sering disebut “saudagar.”
BACA JUGA: 3 Sifat Ini Wajib Dimiliki Pedagang Jika Tidak Ingin Rugi di Dunia dan Akhirat
Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para Nabi, shiddiqien, dan syuhada.”
Subhanallah, betapa Nabi begitu memuji saudagar yang jujur, sehingga beliau memasukkannya dalam golongan para Nabi.
Namun menjadi pedagang memanglah tidak mudah, apalagi menjadi pedagang yang jujur. Rasulullah SAW tahu benar hal ini karena ia adalah seorang pedagang.
Abdullah bin Umar adalah pedagang yang sukses. Demikian pula dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman yang kekayaannya diperoleh dari berdagang. Mereka menginfakkan sepertiga, separuh, bahkan seluruh harta untuk Islam.
Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Nabi yang disebutkan satu dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia seorang pedagang yang sukses, dan saat berhijrah ia meninggalkan semua harta yang telah ia usahakan sekian lama.
Namun saat telah di Madinah, beliau kembali menjadi seorang yang kaya raya. Saat meninggal, wasiat beliau adalah agar setiap pejuang perang Badar yang masih hidup mendapat empat ratus dinar.
Golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama, orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, mujahid yang mati syahid dan haji mabrur.
BACA JUGA: Saat Sultan Abdul Hamid 2 Didatangi Pedagang karena Lupa Bershalawat pada Nabi
Dikisahkan, ketika dipersilahkan masuk surga terlebih dahulu, haji mabrur menolak dengan alasan harus ulama terlebih dahulu karena ia tahu hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, ia tidak akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya.
Tetapi ketika ulama dipersilahkan, ia malah mempersilahkan orang kaya terlebih dahulu. Karena ia menganggap jika karena bukan bantuannya, misalnya masjid dan madrasah yang dibiayai oleh orang kaya, si ulama tidak mungkin dapat berdakwah. Wallahualam. []
Referensi: Tangan-tangan yang dicium Rasul/Syahyuti/Pustaka Hira