KENAPA kita harus tawadhu dalam hidup?
Apakah kita yakin merasa bebas dari sombong? Menggunakan selendang Allah yang tidak layak kita gunakan. Tidak merasa bodoh di hadapanNya, saat membaca ayat-ayat dan hadit NabiNya masih saja menimbang dan mempertanyakannya.
Begitupun kepada manusia, meremehkan orang lain dan menganggap diri lebih baik dari mereka. Sehingga sulit mendapatkan ilmu bermanfaat karena tabiat ilmu itu sulit mengalir kepada hati yang tinggi.
Biasanya orang sulit tawadhu adalah karena kelebihan yang dimilikinya. Saat keluar memakai mobil mewah, pakaian yang branded, punya popularitas, darah biru atau kelebihan lainnya maka timbul ujub, sombong dan meremehkan orang lain.
Ada tahap yang akan dilalui penuntut ilmu yakni ketika ia merasa lebih baik dari orang lain. Pada tahap ini seseorang selalu merasa benar sendiri.
Bagi orang yang beriman kondisi seperti ini ibarat lampu kuning, karena ia akan kesulitan menjaga hatinya (sulit tawadhu). Ilmu baginya ternyata tidak membuatnya takut kepada Allah, melainkan membuatnya ujub dan sombong. Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat seseorang takut kepada Allah?
BACA JUGA: Tawadhu-nya Umar bin Khattab, Berbagi Unta dengan Pembantunya
Hingga pada sebuah titik saat tergelincirnya ia kepada dosa dan kelalaian maka saat itu pula ia mendapatkan pelajaran baru bahwa Taufik adalah milik Allah. Ia mampu beramal bukan karena dirinya yang hebat tapi karena Allah yang memudahkan.
Maka adakalanya dosa akan menyadarkan dan memberi pelajaran berharga untuk kemudian menjadi pribadi tawadhu (rendah hati) yang tidak merasa diri lebih baik.
Pengertian Tawadhu
Kata tawadhu berasal dari bahasa Arab dengan asal kata وضع (wadha’a) yang memiliki banyak arti: meletakkan, melepaskan, dan menghinakan. Kemudian, dalam Lisanul Arab وضع (wadha’a) lawan katanya adalah رفع (rafa’a) yang artinya mengangkat.
Secara istilah: merendahkan hati/ meletakkan diri pada posisi bawah.
Secara syariat: merendahkan hati karena Allah bukan karena yang lain.
Karena terkadang ada orang merendahkan hati supaya disebut rendah hati maka ini bukan tawadhu melainkan Riya.
Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)
Menurut Ulama salaf, Hasan Bashri, “Tawadhu adalah tidaklah seseorang bertemu dengan orang lain kecuali menganggap semua lebih baik darinya. Ketika bertemu orang yang lebih tua menganggap bahwa ia lebih banyak amalnya, dan ketika melihat yang lebih muda berpikir bahwa ia lebih sedikit dosanya. Dan inilah yang menjadi puncak ketawadhuan.
Dalil Tawadhu
Dalil AlQur’an
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al-Furqan Ayat: 63).
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
(الشعراء: 215)
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Qs. asy-Syu’araa’: 215)
Dalil Hadits
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد
Artinya: “Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorangpun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorangpun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR.Muslim no. 2865).
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.”
(HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Keutamaan Tawadhu
Pernahkah kita merasakan koneksi dengan Allah tidak berjalan lancar. Terkadang bagus, tapi terkadang eror. Atau sulit konsisten dalam mengamalkan ilmu. Baik setelah menerimanya ataupun menyampaikan kembali ilmu tersebut kepada orang lain.
Salah satu penyebabnya adalah karena Allah belum memberikan taufik kepadanya. Yakni kemampuan untuk melaksanakan ketaatan kepadaNya.
BACA JUGA: Tidak Tawadhu, Inilah Sebab Allah Tidak Selalu Beri Kemampuan Seseorang dalam Menjalankan Ketaatan
Kunci mendapatkan taufik adalah tawadhu. Sifat mudah menerima kebenaran dan rendah hati kepada manusia. Tidak merasa lebih baik dari orang lain sehingga mau menerima kebenaran dari siapapun. Tak sakit hati saat dikritik dan tidak baper bila diremehkan.
Tawadhu hanya dimiliki oleh orang mulia. Yang membuat manusia mencintainya.
Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”
Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.” []