DI suatu malam yang sepi. Suasana sekeliling hening. Sesekali terdengar lolongan serigala di padang pasir yang tandus. Ketika itu terlihat dua sosok tubuh manusia dalam remang-remang sedang berjalan menuju Madinah. Dua sosok manusia itu ialah khlaifah Umar bin Khathab dan sahabatnya Aslam.
“Hai Aslam!” ujar Umar bin Khathab.
“Hmmm…” jawab Aslam dengan sisa tenanganya, ia amat lelah.
“Itu desa Hurrah sudah dekat. Sebentar lagi kita akan sampai ke Madinah. Tetapi karena kita terlalu letih, bagaimana kalau kita beristirahat sejenak terlebih dahulu di kampung itu sebelum melanjutkan perjalanan?” tanya Umar bin Khathab meminta persetujuan kepada Alsam.
“Baiklah, ya Amirul Mukminin!” Jawab Aslam.
Umar bin Khathab merupakan Khalifah kedua setelah Khalifah Abu Bakar. Umar bin Khathab merupakan Khalifah Rasulullah yang pertama kali memakai gelar Amirul Mukminin.
Walaupun, mereka terus berjalan di malam yang sunyi itu. Dalam perjalanan mereka melihat setitik sinar memancar di udara malam. Semakin lama semakin dekat dengan sinar api yang berkelip-kelip itu. Cahaya api itu seolah-olah hilang karena diembus angin malam Gurun Sahara.
Semakin dekat mereka ke tempat itu semakin jelaslah oleh mereka apa yang diterangi oleh lampu dari minyak zaitun itu. Mereka melihat seorang wanita berada di depan tungku. Di atas tungku itu tergantung sebuah periuk dan sebelah kanan tangan wanita itu sibuk mengaduk-aduk isi periuk itu. Sementara sebelah kiri tangan wanita itu sibuk membelai-belai anaknya yang terlihat begitu lemah.
Terdengar juga oleh mereka isak tangis anak-anak. Mereka duga tangisan itu bukanlah tangisan satu orang anak saja. Sekurang-kurangnya dua atau tiga anak.
Keadaan ini semakin menarik perhatian mereka. Umar bin Khathab memberi isyarat kepada Aslam agar mengahampiri tempat itu. Dengan langkah yang amat pelan mereka pergi menuju tempat itu tanpa disadari oleh wanita yang berada di samping cahaya api dan anaknya yang sedang menangis itu.
Kini semakin jelas ada wanita yang sedang menghidupkan api dan sesekali mengaduk isi periuk yang menggantung di atas tungku.
Di samping wanita itu terdapat sebuah tikar. Atas tikar itu terdapat dua anak yang sedang menangis sambil merengek, “Bu… la..par!” katanya dengan suara lemah.
“Tunggu ya Nak, sebentar lagi makanan ini matang!” kata wanita tadi kepada anaknya sambil memeluknya.
Melihat keadaan yang menyayat hati itu. Khalifah Umar bin Khathab memberi isyarat kepada Aslam agar bersama-sama memasuki gubug reot nan kumuh itu. Khalifah Umar hanya memakai pakaian musafir biasa.
“Assalamu’alaikum!” sapa Khalifah Umar.
“Wa’alaikum salam!” jawab wanita tersebut sambil menoleh keluar gubug. Suasana di luar gubung tersebut gelap gulita tanpa penerangan sama sekali. Wanita itu tahu bahwa yang mengucapkan salam kepadanya adalah laki-laki.
“Boleh kami masuk?” tanya Khalifah Umar.
“Jika kamu bermaksud baik, silahkan masuk. Tetapi kalau berniat jahat, silahkan pergi dari sini!” ujar wanita itu dengan tegas.
“Kami adalah orang baik-baik yang kemalaman di perjalanan. Kami hanya ingin menumpang istirahat sebentar!” sahut Khalifah Umar pula.
“Kalau benar apa yang kau katakan, silahkan masuk, semoga Allah senantiasa selalu memberikan perlindungan kepada kita!” ujar wanita itu kemudian.
Setelah mendengar jawaban wanita itu, masuklah Khalifah Umar dan diikuti Aslam. Dan mereka duduk di atas tikar.
Keadaan hening seketika. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Sementara itu Khalifah Umar memperhatikan wanita itu. Sibuk sekali kelihatannya.
Melihat abu yang sudah menumpuk banyak di periuk itu, Khalifah Umar dapat menebak bahwa wanita itu telah cukup lama memasak.
“Tetapi, kenapa masakan itu belum juga diangkat?” gumam Khalifah Umar dalam hati.
“Kenapa masakkan ibu lama sekali belum matang?” tanya Khalifah Umar.
“Entahlah Tuan!” jawab sang ibu itu dengan dengan nada yang kurang senang atas pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah. Boleh jadi ia menyangka bahwa tamunya ini menginginkan maksakkannya. []
BERSAMBUNG.
Referensi: Cerita Teladan Para Sahabat/Komarudin Ibnu Mikam/Dain Rakyat/2004