MELIHAT abu yang sudah menumpuk banyak di periuk itu, Khalifah Umar dapat menebak bahwa wanita itu telah cukup lama memasak.
“Tetapi, kenapa masakan itu belum juga dianggkat?” gumam Khalifah Umar dalam hati.
“Kenapa masakkan ibu lama sekali belum matang?” tanya Khalifah Umar.
“Entahlah Tuan!” jawab sang ibu itu dengan dengan nada yang kurang senang atas pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah. Boleh jadi ia menyangka bahwa tamunya ini menginginkan maksakkannya.
“Tetapi anak-anak ini kelihatannya sudah lapar sekali.” Ujar Khalifah Umar.
“Tepat sekali dugaan tua itu. Anak-anakku memang sedang kelaparan, tetapi…” suaranya terhenti sampai di situ.
“Tetapi kenapa?” tanya Khalifah Umar bersungguh-sungguh.
Wanita itu hanya diam saja. Ia tak menjawab pertanyaan Khalifah Umar, sementara sebelah tangannya tetap mengaduk-aduk ini periuk di hadapannya.
Karena didesak dengan perasaan ingin tahu yang amat sangat, Khalifah Umar segera bangkit dari duduknya dan mengambil sendok dari tangan wanita itu. Khalifah Umar sangat terkejut karena isi periuk itu amat keras seperti batu.
“Bahan masakan apa yang sekeras batu ini?” pikir Khalifah Umar.
“Kenapa isi periuk ini keras seperti batu?” ujar Khalifah Umar dengan suara pelan agar pertanyaan itu tidak didengar oleh anak-anak wanita itu.
“Memang benar dugaan tuan, yang ada dalam periuk itu adalah sebuah batu!” jawab wanita itu.
“Ya! Batu!” tegas wanita itu lagi, sambil membelai-belai anaknya yang sedang terkulai lemah.
Dan akhirnya, wanita itu menjelaskan kepada Khalifah Umar dan Aslam bahwa mereka sudah tidak memiliki bahan makanan lagi. Jadi untuk menghibur hati anak-anaknya yang sedang kelaparan, direbuslah batu itu. Dengan begitu anak-anaknya menduga ibunya sedang memasak makanan untuk mereka. Sehingga mereka menunggu, menunggu, dan menungggu.
“Menunggu apa?” tanya Khalifah Umar.
“Sebenarnya bukan mereka yang menunggu. Tapi sayalah yang menunggu supaya mereka tertidur. Bila mereka tertidur, tentu mereka tidak akan meminta makan lagi.” Jelas wanita itu.
Khalifah Umar menoleh ke arah Aslam, yang termenung. Wanita itu melirik ke arah anaknya yang kurus-kurus. Dua orang telah tertidur, tinggal satu orang lagi yang sedang menunggu masakkan ibunya matang.
Ketika itu, Khalifah Umar dan Aslam merasa dirinya bagai bayang-bayang. Badannya panas-dingin tidak karuan. Bukan karena mereka demam, namun jiwa mereka turut merasakan penderitaan yang dirasakan oleh wanita dan anak-anaknya itu.
“Persediaan makanan ibu sudah habis? Suami ibu ke mana?” Tanya Khalifah dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Wanita itu hanya terdiam, tak mejawab apa-apa. Sementara pipinya mulai dibasahi air mata yang keluar tanpa disadari.
“Ayah anak-anak itu telah gugur sebagai mujahid sewaktu ikut serta dalam perang Sirya beberapa bulan lalu. Kini tinggallah kami di gubung kumuh seperti yang tuan-tuan lihat. Janda tiga anak. Saya harus berusaha mencari nafkah yang halal. Namun, rezeki kami kurang sekarang-sekarang ini.” Jelas wanita itu dengan isak tangis.
“Mengapa ibu tidak melaporkan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khathab?” tanya Khalifah Umar memancing pendapat wanita itu.
“Hmmm Khalifah!” katanya sambil mencibirkan bibirnya.
“Suami saya dikirim kemedam peperangan untuk menegakkan kebenaran dan kesucian Islam, kemudian ia gugur sebagai syahid. Sedangkan Khalifah Umar yang katanya bijaksana, ternyata tidak pernah memedulikan nasib kami. Bahkan kami tidak pernah menerima bantuan apa pun darinya. Jangankan bantuan menengok saja tidak pernah!” ujar wanita itu kesal.
“Pernah ibu sendiri mencoba datang menemui Khalifah dan menceritakan kadaan ibu kepadanya?” tanya Khalifah Umar lagi.
“Apa guna saya pergi ke sana?” tukas wanita itu dengan suara meninggi.
“Bukankah Khalifah itu telah diberi mata oleh Allah untuk melihat dan telinga untuk menedengar. Apakah ia tidak menggunakan kedua nikmat Allah untuk melihat dan mendengar nasib hambanya di tengah padang pasir yang gersang ini?” ujarnya sambil bangkit dari duduknya untuk meletakkan anaknya yang telah tidur di pangkuannya di atas tikar using.
Khalifah Umar tersedak mendengar kata-kata wanita itu. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika itu. Segala kesedihan dan penyesalan ditutupinya hingga tidak sedikit pun tampak di wajahnya.
“Tahukah tuan?” ujar wanita itu mengemukakan kekesalan hatinya.
“Khalifah itu sudah kaya, sudah senang, memiliki rumah yang besar dan bagus, makan dan minuman yang tidak pernah kekurangan. Karena itu, untuk apa ia menengok fakir miskin di perkampungan kecil ini. Walaupun janda dari pejuangan yang gugur di medan jihad!” tambah wanita itu.
Hati Khalifah semakin tersayat medengar kata-kata wanita itu. Semua yang diucapkannya adalah perasaan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Kini suara hatinya tekah dikeluarkan. Wanita itu teramat kesal.
“Kenapa ibu juga tidak menyampaikan ini kepada salah seorang dari pegawai-pegawai khalifah?” tanya Khalifah lagi.
“Penah sekali, tapi hanya sekali saja!” jawab wanita itu.
“Ada tanggapan?” tanya Khalifah.
“Mungkin karena saya orang desa, pegawai itu seakan-akan telah menceritakan keadaan saya kepada khalifah. Hasilnya seperti yang tuan lihat sekarang ini!’ ujar wanita itu memelas.
“Menurut pengatahuan saya, Khalifah Umat tidak pernah membedakan orang desa atau kota. Miskin atau kaya. Semua sama saja.” Ujar Khalifah Umar meyakinkan wanita itu.
“Itu pendapat tuan, tapi tidak bagi saya. Faktanya hingga kini saya belum pernah menerima bantuan dari khalifah yang tuan katakana baik dan adil itu. Semua ini adalah bohong belaka! Terkutuklah khalifah itu dan saya doakan semoga ia masuk neraka karena dosanya. Dosa yang tidak memperhatikan rakyatnya yang miskin seprti saya!” ujar wanita itu.
Khlaifah Umar hanya terdiam saja mendengar kata-kata wanita itu. Mendengar kepedihan wanita itu. Khalifah Umar terharu.
“Tunggu sebentar Bu, kami akan berusaha untuk mencarikan sedikit bahan makanan untuk ibu dan anak-anak!” ujar Khalifah sambil membelai kepala salah seorang anak wanita itu.
Wanita itu mengangguk. Lalu Khalifah Umar keluar bersama Aslam menuju ke Madinah segera. [dry/islampos] HABIS
Referensi: Cerita Teladan Para Sahabat/Komarudin Ibnu Mikam/Dian Rakyat/2004