Oleh: KH. Haedar Nashir
RASULULLAH SAW telah mengajarkan agar umat beriman yang alim dan ahli ibadah sekalipun haruslah rendah hati (tawadhu’) serta tidak boleh sombong dengan merasa paling benar dalam beragama. Menjadi polisi kebenaran. Lebih-lebih merasa telah memegang kunci surga. Masuk surga sendirian. Nanti kesepian!
Dalam salah satu hadis sahih dari Abu Hurairah dikisahkan. Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ada dua orang laki-laki dari bani Israil yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat beribadah. Orang yang giat beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, “Berhentilah.” Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, “Berhentilah.” Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!” Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.”
BACA JUGA: Perbuatan Sombong Itu Menjerumuskan
Dikisahkan, Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Tuhan semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?” Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: “Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Pergilah kamu ke dalam neraka.” Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud no. 4255).
Kisah tersebut secara verbal terasa ironi. Jangan salah paham. Siapapun yang benar-benar berdosa, jangan terus berdosa, berhentilah berdosa. Sedangkan ahli ibadah jangan berkecil hati, teruslah beribadah dengan ikhlas tanpa riya. Hadis Nabi tersebut pesannya level hakikat dan makrifat. Sebagai ibrah.
Memegang kebenaran merupakan keharusan (QS Al-Baqarah: 147). Tetapi merasa diri paling benar, paling bersih, dan paling suci mesti dihindari agar tidak terjebak pada sikap berlebihan (ghuluw, ekstrem). Sikap berlebihan dalam hal apapun akan membuat diri menjadi seolah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, yang belum tentu pihak lain berada di jalan salah atau sepenuhnya salah. Merasa menjadi polisi dunia. Padahal hidup bersama orang lain yang mesti setara dan berdialog, serta tidak dapat memaksakan kehendak dan pandangan sendiri.
Memang “saya ini siapa?” Kenapa mesti gemar menghakimi orang lain dan keadaan dengan kacamata sendiri dalam aura absolut. Apalagi dengan kebiasaan menghardik, menghukumi, menyesat-nyesatkan, melabeli, dan sederet kata-kata digdaya. Bahkan memandang orang lain yang sama-sama menyuarakan dan membawa misi kebenaran dengan cara berbeda sebagai salah, lembek, dan rendah. Seolah diri berada di atas tahta kebenaran nan agung. Padahal, Nabi yang maksum dan dinobatkan Allah sebagai uswah hasanah, begitu rendah hati dan bijaksana.
BACA JUGA: Apakah Kamu Rendah Hati atau Sombong?
Ingat kata pepatah, di atas langit ada langit. Kenapa begitu rupa merasa diri paling benar dan menjadi pengawal kebenaran? Apa salahnya suara kebenaran itu pun dibawa dengan cara hikmah, mauidhah hasanah, dan dialogis sebagaimana diajarkan Tuhan (QS An-Nahl: 125). Nabi Musa dan Nabi Harun yang pemberani dan gagah perkasa pun diajarkan untuk berlemah-lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44). Bahwa pada akhirnya Fir’aun tidak mau mendengar dan tidak takut, itu sudah masuk urusan Tuhan, hingga berujung nestapa di Laut Merah.
Apalagi kebenaran yang bersifat pengetahuan, ilmu, dan menyangkut urusan kehidupan dunia atau muamalah-dunyawiyah. Ushul fikih mengajarkan, urusan muamalah itu hukumnya ibahah (boleh) kecuali yang terang dilarang menurut syariat. Hal yang disebut syar’i pun banyak aspek dan mazhabnya, tidaklah tunggal dan serba absolut.
Maka, jangan memutlakkan pandangan soal urusan dunia seperti politik, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya. Cara memahami dan menghadapi urusan dunia pun tidak bisa hitam-putih, perlu banyak pandangan dan langkah. Siapapun yang suka memutlakkan urusan dunia, lebih-lebih dengan kacamata sendiri, sama dengan tidak memahami kenyataan hidup secara luas, mendalam, dan terkoneksi satu sama lain dalam mata rantai kehidupan yang kompleks. []
SUMBER: MUHAMMADIYAH