“DI antara sebab tertutupnya berkah, adalah kita tidak menyukai seseorang tanpa alasan,” tutur Kyai Harun Azhari, “Tidak menyukai teman yang lebih paham, kenalan yang lebih mumpuni, kakak atau adik tingkat yang lebih mengerti. Apalagi orangtua atau guru-guru kita.”
Puluhan santriwati khusuk menyimak tutur gurunya, jejari lentik seorang gadis sibuk menuliskan nasihat berharga itu. Pada sudut kanan atas dibubuhkan sebuah titi mangsa, 15 September 1852.
“Mungkin di antara kita ada yang cerdas,” lanjut Kyai Harun, “Tapi suka meremehkan orang lain, mengaggap orang lain tidak lebih hebat, tidak lebih berilmu, dan tidak lebih mengerti dari dirinya sendiri, maka itu pintu tertutupnya ilmu dan hilangnya berkah.”
BACA JUGA: Seperti Inilah Ibadah di Balik Ilmu Para Ulama
Jejari lentik, halus, dan mungil itu kembali menuliskan pesan-pesan mulia gurunya.
“Sebabnya banyak,” Kyai Harun menghela napas, “Pertama, ia merasa lebih senior. Kedua, ia merasa sudah lebih lama mondok di pesantren, sudah sekian pesantren disinggahi, bahkan mungkin pernah pergi haji dan menimba ilmu di Mekah sana, sehingga memandang rendah pada mereka yang belajar pada kyai kampung di sini di dalam negeri. Ketiga, ia merasa sebagai anak kyai, ustaz atau mubaligh.”
“Merasa diri lebih baik dan mulia adalah sifat setan sebagai musuh yang nyata bagi manusia. Setan itu sombong. Ada yang tahu ciri-cirinya.”
“Neda pangapunten Kiyai,” suara lebut itu memancing beberapa mata menatap ke arahnya, ”Al-Kibru batharul haqq, wa ghamtun naas. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkaan manusia. Hadist riwayat Imam Muslim bin Hajjaz dari Abdullah Ibnu Mas’ud.”
Berulang kali Kyai Harun menganggukan kepala yang berbalut sorban putih itu. Ada kagum, bangga, dan bahagia mekar di hatinya.
“Tepat sekali Nak Wulan,” senyum Kyai Harun terkulum dibibirnya yang fasih melafal ayat-ayat Alquranul Karim, “Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Ini sifat setan. Inilah yang menghalangi berkahnya ilmu.”
“Hilangnya berkah berarti hilangnya kebaikan, boleh jadi ilmunya selangit, tapi tak membawa banyak bekaikan bagi orang lain, bahkan bagi dirinya sendiri. Sehingga kadang kita menemukan ada orang yang lulus setelah mondok di pesantren sekian tahun, tapi tak banyak dibutuhkan oleh masyarakat.”
Para santriwati Padepokan Cipta Wening mengangguk-anggukan kepala. Gelaran pengajian sore itu ditutup doa, awan sebelah barat mulai semburat jingga tanda waktu Maghrib segera tiba. Para santriwati kembali ke kobongnya (kamar asarama) masing-masing. Hanya seorang saja yang masih duduk khusu sambil menuliskan serangkaian aksara sambung.
“Nak, Wulan!” Panggilan itu mengagetkan si punya tinta hingga segera mendongakan kepala. Sigap Wulan merapatkan tangan sebagai tanda salamjarak jauh begitu tahu siapa yang menyapanya.
BACA JUGA: Bocoran Ilmu Kedokteran dalam Setengah Ayat Alquran dan Satu Kalimat Hadis
“Eh, Kyai.” Senyum gadis itu malu-malu.
“Kok belum ke kamar, Nak?”
“Ini tanggung Kyai, merampungkan catatan dulu biar gak lupa.”
Dalam hatinya Kyai menakjubi semangat muridnya yang satu ini, ia begitu berbeda dengan santri lainnya, auranya, cara pandangnya, gaya berpikirnya, dan semangat belajarnya. Ada doa yang terselip, ada harapan yang terbingkai, dan ada keyakinan yang menelisik hati bahwa meski pun seorang wanita, ia kelak bakal menjadi orang besar. Masyaallah.. []