BERBICARA soal mimpi, berarti bicara soal dunia yang tidak nyata. Tapi bagaimana jikalau mimpi itu berpengaruh kaitannya dengan kehidupan yang dialami seorang Muslim? Biasanya seseorang akan menceritakan mimpinya kepada temannya, atau saudaranya.
Namun, seyogyanya mimpi tidak boleh diceritakan kepada sembarang orang.
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, “Sesungguhnya mimpi terjadi sesuai dengan ta’birkannya. Perumpamaan daripadanya adalah seumpama laki-laki yang mengangkat kakinya seraya menunggu kapan ia meletakkan kakinya. Jika salah seorang dari kamu bermimpi, janganlah ia menceritakannya kecuali kepada orang yang member nasihat atau seorang ahli ilmu,”
Dari hadits di atas jelaslah tentang kewajiban seorang Muslim terhadap mimpinya. Maka jika dia bermimpi dan ingin menta’birkannya hendaknya ia mencari seorang yang memiliki ilmu, keutamaan dan agama.
Ia tidak boleh menceritakannya kepada orang bodoh, dungu, atau dengki. Seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang pada saat ini. Selepas bangun tidur, serta merta mereka mengisahkan mimpinya kepada setiap orang yang ditemuinya, baik orang itu ia ketahui atau tidak. Ini tentu sebuah kesalahan fatal dan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah.
Dan mimpi pun tidak boleh diceritakan kepada yang tidak suka, tidak memberi nasihat, dan tidak pandai mentakwilkan. Dan jikalau teman yang hendak menceritakan kepada kita, jika kita tidak dapat menta’birkannya maka kita cukup dengan diam.[]
Sumber: Petunjuk Nabi tentang Mimpi/ Ahmad bin Sulaiman/ Darul falah