SUDAH tiga orang pergi dari komplek kita karena covid19. Itu yang aku ketahui. Ketiganya pergi tanpa keramaian duka. Keriuhan warga bertakjiah. Parkiran bisu memanjang khas komplek yang berduka.
Bahkan bunyi sirine menguik mengantarkan jenazah pun tak terdengar.
BACA JUGA: Jalan Hidup Manusia, Terpaksa atau Pilihan?
Sebab keluarga yang berduka pun sedang isoman.
Bukan kita lupa rasa duka karena sepinya. Tapi justru COVID menghantam suasana hati melebih berita kematian biasa. Sebab, kita tak bisa hadir, memberi penghiburan bagi yang berduk. Sebab yang berduka, merasakan kedukaan yang berlipat…
Lebaykah aku? Sepertinya tidak.
Mungkin, ini salah satu cara Tuhan menegur kita, karena dosis kematian yang biasa, masih tidak cukup menyadarkan kita.
Tinggal karangan bunga berjajar berhari hari, menyapa kita. Menorwh Lintasan senyuman almarhum, dan rasa bersalah padanya… Maafkan, maafkan aku, ya Allah.
Maafkan, maafkan ia, ya Allah.
BACA JUGA: Anak-anak ‘Brutal’ Salah Siapa?
Seharusnya tidak ada lagi air mata, sejak duka dinamai doa.
Do’a yang kita ucapkan saat melihat iring-iringan jenazah, yaitu: “Subhaanal hayyil ladzi laa yamuut” yang artinya “Maha Suci Allah Yang Hidup dan Tidak Mati.” []