KEPRIBADIAN muslim (syaksiyyah) manusia terdiri dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap/perilaku). Bentuk fisik, tubuh, pakaian, atau hal-hal luar lainnya tidak memengaruhi kepribadian seseorang. Nilai seseorang dinilai dari pola pikir dan perilakunya, yang menunjukkan tingkat kemuliaan atau kehinaannya.
Aqliyah (pola pikir)
Aqliyah adalah cara seseorang memahami sesuatu. Ini dilakukan dengan menghubungkan fakta (al-waqi’) dengan informasi (al-maklumat), atau sebaliknya, berdasarkan satu atau beberapa asas tertentu. Pola berpikir ini berbeda pada setiap individu, tergantung pada asas yang digunakannya. Aqliyah Islam (al-Islamiyyah) adalah menghubungkan segala sesuatu dengan aturan Islam.
Sebagai contoh: Ketika memandang problematika kemiskinan, ia berpikir bahwa Islam mengajarkan solusi seperti zakat, sedekah, dan pengelolaan SDA sesuai syariah, dll. Ketika memandang masalah maraknya seks bebas ia berpikir bahwa Islam mengajarkan: pengaturan interaksi lawan jenis, menikah, hingga sanksi untuk pelakunya sesuai aturan Allah.
Selain aqliyah Islamiyyah, ada aqliyah-qaliyah yang lain, sebagai berikut:
Al-Aqliyah Asy-Syuyu’iyyah (Komunisme); Orang dengan aqliyah ini menganggap bahwa kehidupan diatur oleh perjuangan kelas (antara kaya dan miskin).
Contoh: Dalam masalah ekonomi, mereka melihat solusi dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dan memusatkan aset pada masyarakat atau negara.
Al-Aqliyah Ar-Ra’sumaliyyah (Kapitalisme); Mereka berfokus pada kebebasan individu dan keuntungan ekonomi sebagai tujuan utama. Contoh: Dalam berbisnis, mereka mengutamakan keuntungan pribadi tanpa peduli apakah itu merugikan masyarakat, asalkan sesuai dengan hukum pasar.
Al-Aqliyah Al-Faudhawiyah (Anarkisme); Berpikir bahwa tidak ada aturan atau hukum yang diperlukan. Contoh: Mereka percaya bahwa masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri tanpa pemerintah atau sistem yang terstruktur.
Aqliyah Ar-Ratibah (Monoton/Statis); Pola pikir ini statis atau tidak berkembang. Contoh: Seseorang yang hanya mengikuti kebiasaan tanpa memikirkan cara lain untuk menyelesaikan problematika, misalnya hanya mengandalkan tradisi meski ada cara yang lebih efektif.
BACA JUGA: 5 Tipe Kepribadian Wanita yang Disebutkan dalam Al-Qur’an
Nafsiyah (Pola Sikap)
Allah menciptakan manusia satu paket dengan kebutuhan jasmani (al-hajatu al-‘udhawiyah) dan naluri-naluri (al-gharaiz). Maka nafsiyah adalah perilaku seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tersebut. Hal ini mencakup bagaimana seseorang menghubungkan dorongan (keinginan) dengan konsep-konsep yang diyakininya.
Kebutuhan jasmani adalah energi vital yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan tertentu dan memerlukan pemenuhan secara mutlak. Artinya, jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, manusia akan biidznillah akan mati. Contohnya adalah rasa lapar, haus, dan kebutuhan untuk BAB. Jika manusia tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini, ia akan mati.
Contoh dalam memenuhi kebutuhan jasmani: ketika manusia lapar, seseorang dengan nafsiyah Islam akan mencari makanan yang dimakan halal. Sementara itu, orang dengan nafsiyah kapitalisme maka bisa tidak peduli dengan halal atau haram selama makanan itu bisa memuaskan kebutuhan pokoknya, demikian pula dengan nafsiyah komunisme pemenuhannya sesuai konsep komunisme.
Adapun naluri digambarkan sebagai energi vital yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan tertentu, tetapi pemenuhannya tidak bersifat mutlak. Artinya, jika naluri tidak terpenuhi tidak membuat manusia biidznillah tidak menyebabkan mati, tetapi ia akan merasa terganggu, gelisah, dan tidak tenang sampai naluri tersebut terpenuhi.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani meluruskan pandangan para psikolog tentang naluri yang menganggap bahwa manusia memiliki banyak naluri, baik yang telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Padahal energi vital manusia yang terwujud dalam naluri hanya terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu naluri beragama, naluri melestarikan keturunan, dan naluri mempertahankan diri.
Artinya, semua hal yang disebut sebagai naluri sebenarnya kembali kepada salah satu dari ketiga naluri ini. Hal tersebut adalah manifestasi dari naluri-naluri tersebut dan bukan naluri yang berdiri sendiri. Hal ini berdasarkan fakta bahwa manusia memiliki keinginan untuk mempertahankan dirinya. Ia memiliki rasa takut, ingin memiliki, berani, dan berkumpul dengan orang lain, serta melakukan berbagai tindakan lainnya demi mempertahankan dirinya. Oleh karena itu, rasa takut, keinginan memiliki, keberanian, atau keinginan berkumpul bukanlah naluri, tetapi merupakan manifestasi dari naluri mempertahankan diri.
Demikian pula, ketertarikan kepada lawan jenis berupa hasrat seksual, rasa kasih sayang kepada pasangan, keinginan menolong orang yang tenggelam, atau membantu orang yang membutuhkan bukanlah naluri, tetapi merupakan manifestasi dari naluri melestarikan keturunan.
Adapun dorongan untuk mensucikan sesuatu, seperti mengkultuskan benda, mengkultuskan orang, semuanya adalah manifestasi dari naluri naluri untuk menyucikan sesuatu.
Inti dari naluri adalah perasaan tentang keberlangsungan diri, keberlangsungan jenis, atau perasaan akan kelemahan alami, yang kemudian menghasilkan berbagai perilaku.
Tindakan-tindakan ini merupakan manifestasi dari asal-usul bawaan tersebut. Secara keseluruhan, setiap manifestasi dapat dikembalikan kepada salah satu dari tiga naluri ini.
3 Macam Naluri
1. Naluri Mensucikan Sesuatu (Gharizah At-Taddayun).
Naluri ini adalah perasaan manusia tentang kelemahan, kebutuhan, dan kekurangan, serta dorongannya untuk mencapai kesempurnaan. Manusia merasa bahwa ada kekuatan yang lebih besar darinya. Manifestasi dari naluri ini adalah perasaan menyucikan, beribadah, memuliakan pahlawan, dan sebagainya.
Pemenuhan benar: bertauhid menyembah Allah, pemenuhan salah: menyembah selain Allah, pemenuhan menyimpang: atheis (tidak bertuhan) tapi dialihkan dengan mengkultuskan kepada yang lain misal figur idolanya.
2. Naluri melestarikan keturunan (Gharizah An-Nau’).
Naluri ini adalah perasaan manusia untuk mempertahankan jenis keturunannya, yaitu dorongan untuk menjaga keberlangsungan generasi manusia. Manifestasinya seperti dorongan seksual, perasaan kebapakan-keibuan (sayang anak), kasih sayang terhadap saudara, dan lain-lain.
Manifestasi ini berperan dalam menjaga keberlangsungan jenis manusia.
Pemenuhan benar: menikah, pemenuhan salah: berzina, pemenuhan menyimpang; LGBT.
3. Naluri mempertahankan diri (Gharizah Al-Baqa’).
Naluri ini adalah perasaan manusia untuk mempertahankan keberadaan dirinya sebagai individu, bukan sebagai jenis. Manifestasinya termasuk rasa takut, keinginan untuk memiliki, cinta kekuasaan, dan sebagainya. Semua ini berfungsi untuk menjaga keberadaan manusia.
Orang dengan nafsiyah Islam akan memenej kekayaannya sesuai dengan syariah.
Sebaliknya, orang dengan nafsiyah kapitalisme akan berusaha mendapatkan kekayaan sebanyak mungkin, bahkan jika itu dengan yang haram.
Hubungan Aqliyah dan Nafsiyah
Kepribadian terbentuk dari keselarasan antara aqliyah dan nafsiyah. Jika asas yang digunakan untuk membentuk aqliyah sama dengan asas yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, maka individu tersebut akan memiliki kepribadian yang konsisten dan kuat.
Maka cara untuk menguatkan aqliyah adalah dengan terus belajar tsaqafah Islam lalu menjadikannya sebagai mafahim kehidupan dan untuk meningkatkan nafsiyah adalah terus berlatih dan berlatih mengamalkan pola sikap atau perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.
Bukan Malaikat
Hubungan (irtibath) seorang muslim dengan syaksiyyah islamiyyahnya bukanlah hubungan tanpa jeda. Bahkan, pada masa sahabat Nabi Saw, terdapat beberapa peristiwa ketika sahabat mengalami jeda tersebut, tetapi pelanggaran ini tidak dianggap mempengaruhi syaksiyyah mereka. Sebab mereka adalah manusia biasa, bukan malaikat, sama seperti manusia lain yang tidak ma’shum.
Sebagai contoh, Hatib bin Abi Balta’ah pernah mengirimkan informasi kepada kaum Quraisy tentang rencana Rasulullah untuk menyerang mereka, padahal Rasulullah sangat menjaga kerahasiaan rencana tersebut.
Rasulullah ﷺ juga pernah memalingkan wajah Al-Fadhl bin Abbas ketika ia memandang seorang wanita yang berbicara kepada Rasulullah dengan pandangan berulang kali yang menunjukkan kecenderungan negatif.
Selain itu, pada peristiwa Fathul Makkah, kaum Anshar membicarakan bahwa Rasulullah Saw telah meninggalkan mereka dan kembali tinggal ke Mekah.
Pun dalam perang Hunain, para sahabat besar juga pernah “balik badan” dari medan perang meninggalkan Rasulullah Saw di tengah pertempuran hanya dengan segelintir sahabat yang tersisa. Semua kejadian ini dan yang serupa dengannya tidak pernah dianggap oleh Rasulullah Saw sebagai bukti yang mengubah status syaksiyyah Islam mereka.
Namun hal ini tidak berarti membolehkan pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah. Haramnya pelanggaran tersebut terhadapnya adalah sesuatu yang tidak diragukan.
BACA JUGA: Kepribadian Seorang Muslim Adalah Adil dan Jujur, Bukan Dusta dan Khianat
Begitu pula, ini tidak berarti bahwa seorang pribadi islami boleh menyimpang dari karakteristik seorang Muslim yang teguh dalam agamanya. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah bahwa seorang muslim adalah manusia biasa, dan syaksiyyah Islamiyyah juga diemban oleh manusia, bukan dari golongan malaikat.
Jika mereka tergelincir, maka mereka diperlakukan sesuai hukum Allah diberi dosa. Tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa mereka telah kehilangan status mereka dengan syaksiyyah Islamiyyahnya.
Adapun jika kemaksiatan menjadi terlalu banyak, seperti meninggalkan kewajiban, melakukan hal-hal yang diharamkan secara terang-terangan, atau jika kemaksiatan tersebut tidak lagi berupa kelemahan kecil tetapi menjadi sifat dominan dalam perilaku seseorang, atau bahkan sudah sejak awal perilaku itu dipenuhi banyak dosa dan bukan hanya kelemahan kecil, maka hal ini memengaruhi status syaksiyyah Islamiyyah mereka.
Wallahu ‘alam. []
Maraji’:
-Nidzam Al-Islam
-At-Tafkir
-Al-Fikru Al-Islam
-Asy-Syaksiyyah Al- Islamiyyah Jilid 1