SETIAP manusia tentu ingin hidup sejahtera. Di antara manusia, ada yang hanya menginginkan kesejahteraan di dunia, dan ada pula yang menginginkan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana tercantum dalam tiga ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 200-202.
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia,’ dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
BACA JUGA: Lembut Hati, Umar bin Khattab Sangat Peduli pada Kesejahteraan Bayi
Kata “kebaikan” dalam ayat-ayat di atas dapat dimaknai sebagai kesejahteraan. Karena secara umum, kata “sejahtera” merujuk pada keadaan yang baik, kondisi manusia yang orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sejahtera bermakna aman, sentosa, makmur, dan selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Namun, dalam ekonomi, sejahtera hanya dihubungkan dengan keuntungan benda.
Selain ayat-ayat di atas, terdapat dua ayat lagi dalam Al-Qur’an yang memuat definisi kesejahteraan, sebagai berikut. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 3-4)
Dari dua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kesejahteraan menurut Al-Qur’an mencakup kesejahteraan ruhiyah (bertauhid dan bebas dari ketakutan) dan kesejahteraan fisik (bebas dari kelaparan). Bagaimanakah kesejahteraan fisik dan ruhiyah itu? Berikut penjelasannya.
Pertama, sembahlah Tuhan pemilik Ka’bah saja.
Itu adalah salah satu ciri kesejahteraan menurut Al-Qur’an atau dikenal dengan kata bertauhid. Ini berarti proses pembangunan masyakarat harus didahului dengan pembangunan tauhid. Dengan kata lain, sebelum pembangunan fisik dimulai, masyarakat harus dididik sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar bertawakal kepada Allah, menjadikan setiap aktivitas positifnya ibadah, dan menjadikan Allah sebagai pelindung, penolong, dan pengayom.
Kedua, rezeki merupakan unsur pokok kehidupan dan kebanggaan manusia.
Untuk menjemput rezeki dari Allah, manusia harus bekerja—dengan niat ibadah kepada Allah—serta berdoa. Rezeki yang sudah diperoleh harus digunakan seperlunya saja dan tidak boleh ditumpuk-tumpuk, ditimbun, apalagi dinikmati oleh orang-orang kaya saja, karena ia hanyalah titipan dari Allah. Akan tetapi, rezeki juga harus disalurkan sebagiannya kepada orang-orang yang memiliki hak atasnya (orang-orang yang membutuhkan), dalam bentuk zakat, infa, sedekah, wakaf, dan sebagianya.
Selain dua indikator di atas, keamanan juga merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Jika di suatu masyarakat banyak terjadi kejahatan, atau sedang dalam kondisi perang, masyarakat tersebut belum layak disebut sejahtera, sekalipun mereka memiliki kekayaan berlimpah. Maka, untuk menjaga keamanan di masyarakat, diperlukan pribadi-pribadi yang bertaqwa kepada Allah dan sistem keamanan masyarakat atau negara yang baik.
Seseorang bisa saja hidup sejahtera di dunia. Namun, jika kesejahteraan tersebut tidak membawanya ke surga, maka kesejahteraan di dunia tersebut tidak ada artinya sama sekali di sisi Allah. Karena rezeki yang kekal hingga ke akhirat hanyalah rezeki yang diinfakkan kepada yang berhak menerimanya.
BACA JUGA: Kesejahteraan di Masa Utsman bin Affan
Agar rezeki kita menjadi bekal kita untuk masuk surga, kita sebagai kaum muslimin haruslah saling menolong dan saling menanggung dengan memanfaatkan rezeki yang telah dianugerahkan kepada kita. Selain itu, kita juga harus memanfaatkan rezeki secara efektif dan efisien, sehingga tidak ada pemborosan. Ingat, para pemboros adalah saudara-saudara setan. Namun, jangan terlalu kikir juga dalam membelanjakan harta.
Dan terakhir, bayarlah zakat dan bersedekahlah secara rutin sebagai tanda syukur nikmat. Supaya harta tidak berputar di kalangan orang-orang kaya saja, dan hak-hak serta kebutuhan-kebutuhan fakir miskin terpenuhi dengan baik. Sedekah – termasuk sedekah wajib, yaitu zakat – tidak akan mengurangi harta, karena jika kita mengeluarkannya dengan ikhlas berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah pasti akan menggantinya dengan harta yang lebih baik. Sebaliknya, orang-orang yang kikir akan ditarik rezekinya secara paksa. []